Nationalgeographic.co.id - Seorang mandor berdiri di sebuah perkebunan besar. Berbusana lengan panjang rapi, bertopi khas perkebunan kolonial, dan bersepatu. Rupanya dia tengah memeriksa lembaran dokumen perkebunan. Di belakangnya, dua lelaki kuli perkebunan yang bertelanjang dada dan tanpa alas kaki sedang mengayunkan cangkulnya. Sementara seorang lagi, yang berpenutup kepala mirip blangkon, sedang sibuk memegang palu dan tang.
Di lokasi lain, tampak beberapa orang tengah sibuk mengangkut padi dan hasil perkebunan lain seperti pisang dan kelapa. Ada juga kesibukan kuli di perkebunan tebu, perempuan pemetik teh, panen singkong, dan kuli-kuli panggul yang membawa karet mentah.
Baca Juga : Buang Sampah ke Sungai Merupakan Warisan Zaman VOC, Benarkah?
Itu tadi kisah sebagian rangkaian panil relief porselen putihyang mengelilingi dinding lantai dua Handelsvereniging Amsterdam (HVA) di Surabaya. Panil-panil porselen itu karya J.C. Schultsz ”De Porceleyne Fles Delft” pada 1925 yang menuturkan kegiatan berbagai perkebunan besar di Hindia Belanda. Sungguh penggambaran negeri yang—pastinya—sangat makmur lantaran warganya yang bekerja keras untuk mengelola kebun. Benarkah demikian?
Kejutan kedua, pada 1902—dua dekade usai masa tanam paksa. Johannes van den Brand menerbitkan tulisannya De Millionen uit Deli yang menuturkan berjuta-juta gulden yang disedot para pemilik perkebunan besar di Deli.
Usai penghapusan tanam paksa pada 1870, Hindia Belanda dibanjiri penanam modal swasta dari Eropa. Awalnya perkebunan-perkebunan besar di Sumatra Timur mendatangkan kuli dari daerah Bagelen di Jawa Tengah. Namun, lantaran tak mencukupi permintaan, mereka mendatangkan juga kuli dari daratan Cina.
Brand, yang juga seorang pengacara di Karesidenan Sumatra Timur, bersaksi atas penerapan berbagai kasus penerapan ordonansi kuli, khususnya kekejian dalam menghukum kuli. Dia melihat dari sisi moral soal tujuan ordonansi kuli yang pada akhirnya hanya mencegah kuli-kuli membatalkan kontrak mereka. Sekali dipekerjakan di perkebunan, dapat dipastikan tak mungkin bisa melarikan diri.
Istilah ”kuli” identik dengan pekerja kasar zaman kolonial. Panggilan ”kuli” juga merendahkan derajat bagi mereka yang menyandangnya.
Kenyataannya kehidupan para kuli memang kerap ditindas oleh tuan kebun yang mengontrak mereka. Penggunaan istilah tersebut berkembang seiring besarnya kebutuhan perkebunan besar atas tenaga kerja pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hampir tiga dasawarsa silam, Profesor emeritus Jan Breman, seorang ahli sosiologi dari University of Amsterdam, mengungkap kembali penderitaan para kuli Sumatra Timur. Dengan semangat yang terinspirasi oleh Brand, dia mengungkap penderitaan kuli sejak penandatanganan kontrak sampai kehidupannya di perkebunan.
Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.
Breeman berkisah, selama berlayar, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.
Kuli perkebunan kerap kena tipu tuan kebunnya soal upah. Breman mengungkap bahwa upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Kuli tidak diberi kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu.
Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkannya kepada para kuli Cina. Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan.
Para kuli kerap menjalani penyiksaan tak terperi, menurut singkapan Breman. Mereka disiksa di tempat terbuka supaya menimbulkan dampak jera kepada kuli-kuli lainnya.
Tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat. Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, kuli perempuan digosok kemaluannya dengan merica halus.
Kuli menjadi sebuah ironi di negerinya sendiri. Breeman berkesimpulan bahwa tindak penyiksaan terhadap para kuli tadi bukanlah suatu kasus yang kebetulan terjadi, melainkan bersifat mengakar lantaran didukung antara tuan kebun dan pemerintah kolonial.
Baca Juga : Letjen Doni dan Tumbler, Wujud Penolakan Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Keindahan untaian porselen gedung HVA—kini kantor PT Perkebunan Nusantara XI—tampaknya menjadi penanda zaman sekaligus memiliki pesan tersembunyi kepada kita. Pesan yang tersirat bahwa Nusantara adalah negeri yang dilimpahi kekayaan—mungkin itu juga yang membuat kita malas dan bodoh.
Namun, pastinya kita tidak terlalu bodoh untuk berharap bahwa semoga kepiluan para kuli kontrak tadi tak terulang lagi di dunia, yang konon kini lebih beradab.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR