Keenam, tali pintal untuk menghukum santri yang salah saat mengaji. Tali ditambatkan ke pinggang santri yang malang itu, kemudian diikatkan di tiang. “Sebelum ia dapat, tiada ia dilepaskan; dihantar nasi oleh ibu bapanya di situ,” tulis Abdullah.
Ketujuh, bagi santri yang kerap berani melawan, membolos, dan mencuri hukumannya “digantung kedua belah tangannya, tiada berjejak kakinya.”
Kedelapan, bagi santri yang jahat dan suka membolos akan disesah pantatnya oleh sang guru mengaji.
Kesembilan, santri yang sering berbohong dan gemar memaki orang maka mulutnya digosok lada Cina.
Mengaji menjadi aktivitas hidup yang menyeramkan bagi Abdullah yang belia. Sampai-sampai dia mengungkapkan kejujuran isi hatinya, “Ketika itu penuhlah dalam hatiku dengan benci dan amarah dan dengki akan orang yang mengajar aku itu. Maka, beberapa do’aku, mudah-mudahan kalau boleh segera ia mati, supaya tiada aku susah belajar...”
“Ketika itu penuhlah dalam hatiku dengan benci dan amarah dan dengki akan orang yang mengajar aku itu. Maka, beberapa do’aku, mudah-mudahan kalau boleh segera ia mati, supaya tiada aku susah belajar...”
Abdullah juga mengungkapkan rasa suka citanya ketika sang guru mengaji jatuh sakit sehingga mengaji pun libur. Kadang dia mencari alasan sakit supaya bisa membolos, kendati hanya sakit ringan. Bermain layang-layang adalah tujuan pelariannya.
Namun tatkala dewasa, Abdullah baru menyadari betapa beruntungnya dia karena berkesempatan menempa diri belajar mengaji. Dalam “Hikayat Abdullah”, dia mengungkapkan bahwa bilur-bilur rotan di badannya ibarat suluh perjalanan hidupnya. Sementara tamparan dari guru mengajinya menjadi cermin mata bagi masa depannya, demikian ungkap Abdullah. “Bahwa sekaranglah baharu aku kecap akan air madu yang telah terpancar daripada sarang lebah yang telah kuusahakan menunggu akan dia daripada zaman kecilku itu.”
Baca juga: Survei Membuktikan Orang yang Aktif Beragama Cenderung Lebih Bahagia
“Adapun ‘ilmu dan kepandaian itu menajdi tangga kepada pangkat kekayaan dan kekayaan ityu membawa kebesaran.” Abdullah mengutip perkataan arif pada zamannya, “Apabila engkau dapat wang, belikan emas; maka jualkan pula emas itu, belikan intan; maka jualkan pula intan itu, belikan manikam; jualkan pula manikam itu, belikan ‘ilmu.”
Staf fotografer National Geographic Indonesia, Yunaidi, memiliki kedekatan dengan gambaran kisah yang diriwayatkan Abdullah. Mungkin lantaran mereka sama-sama dibesarkan dalam rumpun budaya Melayu—kendati terpaut zaman nun jauh.
“Saya merasakan dicambuk di kaki, atau dipukul bagian tangan saat tidak hafal ayat Alquran,” tutur Yunaidi mengenang masa bocahnya di pedalaman Sumatra Barat pada akhir 1990-an.
Selepas magrib mengambang, dia bersama neneknya menjumpai seorang guru mengaji di kampungnya, Ungku Wali namanya. Mirip kisah Abdullah, sang nenek membingkiskan beras dalam kain putih untuk sang guru mengaji. Yunaidi masih ingat, neneknya pasrah menitipkan dirinya kepada sang guru mengaji. Dia menirukan perkataan neneknya kepada Ungku Wali, “Anggaplah seperti anak Ungku, dan didiklah seperti anak Ungku. Semuanya saya serahkan kepada Ungku.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR