Nationalgeographic.co.id - Saat fotografer Luján Agusti pertama kali pindah dari Argentina ke Meksiko, seketika ia “disambut” berbagai festival keagamaan yang berlangsung sepanjang tahun. “Agama ada dimana-mana,” katanya.
Agusti, yang menggambarkan dirinya sebagai agnostik—orang yang berpandangan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui—menjadi terpesona oleh setiap karakter dan pertunjukkan yang ditemukan dalam perayaan Pekan Suci, peringatan gereja lokal, dan Hari Kematian Seseorang.
Perpaduan Katolik dan budaya lokal yang penuh warna ini dapat dianggap sebagai sebuah sinkretisme, perpaduan dua aliran yang berbeda untuk mencapai keserasian dan keseimbangan. Mendokumentasikan festival ini adalah hal yang wajib bagi Agusti.
Baca Juga : Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
Saat mengunjungi kota Coatepec di negara bagian tenggara Veracruz, ia menemukan sebuah prosesi yang menakjubkan. Di antara umat paroki dan beberapa band sekolah, sekelompok badut bertopi warna-warni tengah asyik menari.
Kelompok badut tersebut dipimpin oleh karakter yang menyerupai seorang conquistador Spanyol—sebutan untuk serdadu dan kolonis Spanyol yang pergi menjelajah dan menaklukkan beberapa wilayah di dunia.
Agusti tergelitik. Di balik topeng yang menghiasi, terdapat sosok laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak di sana.
Mereka turut berpartisipasi dalam merayakan tradisi yang berasal dari zaman penjajahan Spanyol ini. Tradisi tersebut baru saja dihidupkan kembali setelah sempat terkubur selama beberapa dekade.
Tarian yang dilakukan oleh beberapa orang disana merupakan bentuk persembahan kepada Perawan Guadalupe—sebuah penampakan Perawan Maria yang muncul di lokasi bekas kuil Aztec—dengan imbalan keberuntungan.
Agusti mendekat ke beberapa cuadrilla—sekelompok orang yang melaksanakan kegiatan secara bersama-sama—dan mulai mengabadikan momen dengan latar belakang warni-warni seperti kostum mereka.
Secara visual, potret yang diambil begitu menakjubkan sekaligus “aneh”. Menurut Agusti, ada hal yang bisa dipetik dari kostum para badut tersebut.
“Semua kain ini sangat berwarna dan indah. Namun, ketika Anda melihat kostum badutnya, mereka tampak compang-camping dan usang,” ujarnya.
Agusti menafsirkannya sebagai representasi realitas kehidupan yang sedang terjadi di Meksiko dan Amerika Latin. Kemiskinan dan disfungsi sosial yang merajalela diburamkan oleh kenampakan luar yang terlihat mewah.
Baca Juga : Paroldo, Desa Kecil yang Pernah Menjadi Tempat Tinggal Para Penyihir Baik
Di tahun-tahun sebelumnya, Agusti menganggap bahwa badut lebih banyak dimainkan oleh pria yang lebih tua. Namun kini, banyak pemain didominasi oleh anak muda, atau anak-anak dengan ayah mereka.
“Veracruz adalah salah satu negara paling berbahaya di Meksiko,” tuturnya, merujuk pada kekerasan terkait narkoba yang telah melanda wilayah tersebut.
Berada di sebuah cuadrilla memberi anak-anak ruang untuk menyalurkan bakat positif mereka dengan tetap menjaga kelestarian tradisi lokal.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR