Nationalgeographic.co.id— Pertempuran Falkland 8 Desember 1914 telah menorehkan sejarah sebagai pertempuran laut bebuyutan pada Perang Dunia Pertama. Lokasinya di Kepulauan Falkland, Amerika Selatan, atau kini bernama Malvinas.
Armada Inggris di bawah komando Laksamana Doveton Sturdee bergerak menyerang dengan sengit armada laut Jerman pimpinan Laksamana Muda Maximilian Reichsgraf von Spee, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Graff Spee. Dia merupakan komandan Skuadron Jerman di Asia Timur yang berbasis di Tsingtao, sebuah koloni Jerman di Cina.
Karena ancaman sekutu, Graff Spee dan skuadron lautnya berlayar menuju Amerika Selatan untuk bertempur dengan Inggris. Dalam Pertempuran Falkland, empat kapal perang Jerman tenggelam bersama dengan sekitar hampir dua ribu pelautnya. Malangnya, Graff Spee dan dua putranya turut binasa.
Dua belas tahun setelah pertempuran, di sebuah tempat sunyi di lereng Pangrango, berdiri menjulang tugu putih bergaya bangunan Hindu yang dikelilingi oleh pohon beringin. Berlokasi di sebuah daerah dengan toponimi lama Arca Domas—kampung 800 arca! Konon, kawasan perbukitan ini dahulu merupakan situs keramat pada masa Kerajaan Pajajaran.
Di tugu setinggi sekitar tiga meter tersebut terpasang batu hitam dengan prasasti “DEM TAPFEREN DEUTSCH-OSTASIATISCHEN GESCHWADER 1914” atau dalam bahasa Indonesia “Skuadron Jerman-Asia Timur yang Berani 1914”. Prasasti itu juga berhias Salib Besi tanda jasa militer Jerman.
Sementara, di kaki tugu terukir nama yang mendirikannya, “ERRICHTET VON EMIL UND THEODOR HELFFERICH 1926”. Emil Helfferich (1878-1972) merupakan seorang niagawan asal Jerman yang berjejak di Batavia kali pertama pada 1903. Pernah berkantor di Toko Merah, sebuah rumah tinggalan Gubernur Jenderal Baron von Imhoff, di kawasan Kota Tua Jakarta.
Emil adalah pemilik perkebunan teh di Cikopo yang juga memprakarsai pendirian perhimpunan warga Jerman di Hindia Belanda. Sementara saudaranya, Karl Theodor Helfferich (1872-1924) merupakan seorang politikus dan ekonom Jerman. Karl turut berperan dalam pengembangan kapal selam untuk kepentingan perdagangan, suatu kapal selam pelopor armada U-Boot yang kelak resmi beroperasi di Asia Tenggara pada 1944-1945.
Dua bersaudara itu mendirikan tugu di perbukitan Arca Domas lantaran daerah tersebut dahulu merupakan tempat suci bagi agama Hindu. Makna suci bagi orang Jawa tampaknya diadopsi oleh Emil untuk penghormatan bagi para pahlawan Jerman yang gugur di Falkland.
Di samping kanan tugu tersebut terdapat arca Ganesha lambang ilmu pengetahuan, sedangkan di sisi kirinya terdapat arca Siddharta Gautama yang duduk di atas teratai lambang ketenangan. Sebuah perpaduan simbol Hindu dan Buddha. Emil memesannya di sebuah perajin batu di pinggiran ruas jalan raya Yogyakarta dan Solo, sekitar Prambanan.
Hari Minggu, 17 Oktober 1926, jalanan di perkebunan teh milik Emil dilintasi konvoi 21 mobil yang mengangkut para serdadu angkatan laut Jerman. Kapal penjelajah mereka yang bernama Hamburg tengah singgah dan bersandar di Teluk Jakarta sejak dua hari sebelumnya.
Bersama para warga Jerman yang bermukim di Hindia Belanda, para serdadu itu menghadiri sebuah upacara peresmian tugu yang mengenang keberanian para pejuang Jerman yang gugur dalam Pertempuran Kepulauan Falkland itu. Sekitar dua tahun kemudian Emil kembali ke Jerman.
Perang Dunia Kedua pecah. Ketika Jerman menginvasi Belanda pada Mei 1940, banyak warga Jerman yang bermukim di Hindia Belanda ditangkap dan ditahan. Perseteruan di panggung Eropa pun meluas hingga ke Hindia Belanda.
Baca juga: Perang Dunia Kedua dan Takdir "Sophie Rickmers" di Ujung Sumatra
Sekitar 1945, di depan tugu putih itu telah dimakamkan sepuluh serdadu Kriegsmarine atau Angkatan Laut Jerman yang tewas dalam suasana kekacauan dan salah pengertian pada periode jelang dan setelah kemerdekaan Indonesia. Mereka berusia sekitar 30-an tahun. malangnya, dua dari mereka berstatus "Unbekant" atau tak dikenal.
Dua dari delapan serdadu merupakan awak kapal selam Jerman yang masyhur pada Perang Dunia Kedua, U-Boat. Nama dua serdadu awak kapal selam tersebut adalah Ob.Lt U.LI Dr.Ing. H. Haake, awak U-196 yang tewas karena kapal selamnya terkena ranjau laut di Selat Sunda, dan Ob.Lt. z.S. Friedrich Steinfeld, seorang awak U-195 yang tewas sebagai tawanan perang Sekutu di Surabaya.
Kini kesepuluh makan serdadu Jerman tersebut bernisan Salib Besi khas tanda jasa militer Jerman. Situs bersejarah tersebut dirawat oleh Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Di sebuah bangunan penanda bercat putih bertuliskan prasasti "DEUTSCHER SOLDATENFRIEDHOF" kemudian diikuti tulisan "Tugu Peringatan untuk menghormati prajurit Jerman yang telah gugur. Kedutaan Besar republik Federal Jerman di Jakarta."
Bagaimana bisa para serdadu Jerman ini bisa sampai di Jawa, pada saat bersamaan negeri asal mereka sedang berperang mempertahankan panggung Eropa dari serangan serdadu sekutu?
Ketika Jepang menduduki Semenanjung Malaka dan Indonesia, Jerman turut membangun pangkalan kapal selamnya di Penang, Jakarta, dan Surabaya. Armada kapal selam Jerman beroperasi sekitar perairan Indonesia pada 1943-1945. Kerja sama dua negara fasis tersebut secara resmi bermula tatkala Hitler membentuk aliansi politik dengan Jepang pada 1938.
Di wilayah warisan Hindia-Belanda, Jerman punya kepentingan untuk mengirimkan komoditinya seperti hasil perkebunan dan tambang untuk dijual ke Prancis. Lantaran kapal-kapal dagang Jerman kerap ditenggelamkan karena memanasnya perang Eropa, pada1944-1995 mereka mengangkut komoditi itu lewat kapal selam.
Sebelum meninggalkan Jawa, pada 1924 Emil telah menempatkan pondasi untuk membangun kamar dagang dan industri yang menghubungkan Jerman dan Hindia Belanda. Kini, lembaga yang dirintis Emil itu berkembang dengan nama Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Djerman (Ekonid), berkantor di Jakarta Pusat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR