Nationalgeographic.co.id— “Indonesia adalah sebuah mukjizat. Indonesia is a miracle karena kompleksitas keragaman dan kebinekaannya,” ujar Azyumardi Azra dalam sambutannya sebagai penerima anugerah LIPI Sarwono Award 2017.
Azyumardi dikenal sebagai cendekiawan muslim dan guru besar bidang sejarah dan peradaban Islam di Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lelaki ini juga dikenal memiliki dedikasi tinggi dan konsisten dalam bidang ilmu pengetahuan dan pemikirannya, khususnya dalam melihat pola budaya dan peradaban Islam.
Berbagai perbedaan peradaban umat Islam di Indonesia dan negara-negara timur tengah telah menjadi kajian pemikirannya. Umat Islam yang berada di Indonesia, menurutnya, adalah umat Islam berkemajuan, budaya Islamnya sudah melebur dengan budaya-budaya Nusantara.
Dia juga melihat munculnya budaya positif yang merekatkan persaudaraan—namun tidak terjadi di negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Menurutnya, banyak warna-warni yang muncul dalam pembangunan persaudaraan dan peleburan budaya Islam—mulai dari kegiatan tahlilan, ziarah kubur, bahkan budaya mudik yang tidak hanya diikuti umat Islam semata. Fenomena ini, menurut Azyumardi, menunjukkan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang melekat dengan budaya. Sementara, budaya Indonesia adalah toleran atau bertenggang rasa.
Baca juga: Ketika Ahli Arkeologi Singkap Pluralisme Prasejarah Nusantara
Azyumardi, dalam forum LIPI Sarwono Award, mengungkapkan harapannya bahwa kaum muda muslim harus memiliki pandangan yang luas. Tidak doktrinal dalam melihat agama, melainkan memiliki kaitan dalam bidang kebudayaan.
“Hanya dengan interaksi ilmu-ilmu agama—ilmu-ilmu yang bersifat teologis— dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, ilmu-ilmu humaniora, atau ilmu kemanusiaan,” ujar Azyumardi, “kita bisa berharap munculnya generasi muda Muslim yang memiliki perspektif intelektual yang luas. Tidak doktriner dalam melihat agama.”
Atas pemikiran tersebut, pada awal dekade pertama di abad ini dia memprakarsai perubahan nama perguruan tinggi tempat dia berkarya—dari “Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah” menjadi “Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.”
Sebagian aktivitasnya tercurah sebagai anggota Akademi ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Dewan Riset Nasional. Selain itu, dia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi berbagai jurnal nasional dan internasional yang berkaitan dengan studi agama dan kemanusiaan.
Bagaimana dia mampu menyelesaikan sekeranjang pekerjaannya—tugas birokrasi kampus, menulis, seminar, dan tetap berkarya?
“Saya beretrospeksi terhadap diri sendiri,” ujarnya. “Itu karena sikap istiqomah, teguh, terus-menerus berkarya, sikap untuk selalu menjawab tantangan, menghadirkan tantangan dalam berkarya. Di situlah kuncinya.”
LIPI Sarwono Award merupakan kegiatan keilmuan yang diselenggarakan di setiap tahun sebagai puncak rangkaian acara hari ulang tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penghargaan tahun ini bertepatan dengan perayaan tahun emas lembaga tersebut.
“Hanya dengan interaksi ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, ilmu-ilmu humaniora, atau ilmu kemanusiaan,” ujar Azyumardi, “kita bisa berharap munculnya generasi muda Muslim yang memiliki perspektif intelektual yang luas. Tidak doktriner dalam melihat agama.”
Sebagai lembaga keilmuan yang terbesar dan terkemuka di Indonesia, LIPI sangat peduli terhadap prestasi ilmiah dan dedikasi peneliti Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Inilah penghargaan bergengsi kepada warga negara Indonesia yang telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan kemanusiaan.
“Kami memandang ilmuwan Indonesia yang berprestasi global pantas dan layak untuk mendapatkan penghargaan ilmiah tertinggi, yaitu LIPI Sarwono Award,” kata Bambang Subiyanto, selaku Pelaksana Tugas Kepala LIPI.
Bambang menuturkan tentang sosok peraih anugerah LIPI Sarwono Award tahun ini. “Profesor Azyumardi Azra merupakan tokoh pemikir yang tak pernah diam.” Kemudian dia melanjutkan, “Obsesinya yang besar untuk mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia telah dicurahkan oleh karya-karyanya, baik yang telah dimuat di artikel media massa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkan.”
“Kita selaku warga negara Indonesia sangat bangga atas jasa beliau dalam proses pemahaman dan hubunagan antaragama dan peradaban,” sambung Bambang. “Reputasi beliau yang telah menjadi perhatian internasional sehingga Ratu Elizabeth II pun dengan bangga memberi penghargaan kepada beliau the Commander of the Order of British Empire.”
Kerajaan Inggris menganugerahkan gelar itu karena sumbangan pemikiran Azyumardi soal hubungan antarkeyakinan dan toleransi di Indonesia. Penghargaan itu sekaligus menahbiskan Azyumardi sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat sebutan “Sir”.
Azyumardi berkesempatan juga memberikan ceramah ilmiah dalam Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture ke-15. Tajuk ceramahnya, Toleransi Agama untuk Persatuan Negara-Bangsa Indonesia. Menurutnya, agama bukanlah faktor pencetus perseteruan dan perpecahan, melainkan faktor pemersatu penting dalam keragaman suku dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga: Nenek Moyang Kita Seorang Pluralis
“Agama itu menjadi faktor pemersatu penting dalam keragaman suku,” ujar Azyumardi. Orang Islam di Aceh merasa bersaudara dengan orang Islam di Jawa atau orang Islam di Bugis karena seiman. Begitu juga alasan mengapa orang Kristen di Tapanuli merasa dekat dengan Kristen di Minahasa, atau dengan Kristen di Ambon. “Dari segi budaya sama sekali berbeda, tetapi memiliki solidaritas yang ikatannya agama.”
Kawasan Timur Tengah, dalam pandangan Azyumardi dalam ceramahnya dua tahun silam, memiliki corak budaya dan sejarah yang berbeda dengan di Indonesia. Islam di Indonesia pun memiliki pengalaman berbeda dengan pengalaman Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, atau Anak Benua India. Sederet kawasan tersebut, hemat Azyumardi, mengalami penundukan politik oleh kuasa militer Muslim dari Arabia. Sementara, Islam tersiar ke pelosok Nusantara lewat penyebaran secara damai. “Proses semacam ini,” ungkap Azyumardi, “memberikan warna cukup khas bagi Islam di Indonesia, yakni Islam yang akomodatif dan inklusif.”
Pada akhir sambutannya dalam LIPI Sarwono Award 2017, dia mengungkapkan bahwa peranan pengemban ilmu pengetahuan memerlukan orang-orang yang berkomitmen penuh, berintegritas di dalam memajukan ilmu pengetahuan, dan menghasilkan inovasi . “Saya kira hari ini dan ke depan, kita berharap LIPI memainkan perannya semakin besar: menjadi motor penghasil pengetahuan baru dan juga inovasi baru.”
Ketika perhelatan ini masih berlangsung, saya mengunggah kutipan inspiratif dari Azyumardi, yang menunjukkan bahwa mukjizat Indonesia adalah kebinekaan. Seorang warganet pun berkomentar, “Keberagaman perlu dirayakan, tapi setelah itu, apa?” Beberapa saat berselang, warganet lainnya menanggapi pertanyaan tadi, “Dimanfaatkan sebagai hal yang positif.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR