LIPI Sarwono Award merupakan kegiatan keilmuan yang diselenggarakan di setiap tahun sebagai puncak rangkaian acara hari ulang tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penghargaan tahun ini bertepatan dengan perayaan tahun emas lembaga tersebut.
“Hanya dengan interaksi ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, ilmu-ilmu humaniora, atau ilmu kemanusiaan,” ujar Azyumardi, “kita bisa berharap munculnya generasi muda Muslim yang memiliki perspektif intelektual yang luas. Tidak doktriner dalam melihat agama.”
Sebagai lembaga keilmuan yang terbesar dan terkemuka di Indonesia, LIPI sangat peduli terhadap prestasi ilmiah dan dedikasi peneliti Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Inilah penghargaan bergengsi kepada warga negara Indonesia yang telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan kemanusiaan.
“Kami memandang ilmuwan Indonesia yang berprestasi global pantas dan layak untuk mendapatkan penghargaan ilmiah tertinggi, yaitu LIPI Sarwono Award,” kata Bambang Subiyanto, selaku Pelaksana Tugas Kepala LIPI.
Bambang menuturkan tentang sosok peraih anugerah LIPI Sarwono Award tahun ini. “Profesor Azyumardi Azra merupakan tokoh pemikir yang tak pernah diam.” Kemudian dia melanjutkan, “Obsesinya yang besar untuk mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia telah dicurahkan oleh karya-karyanya, baik yang telah dimuat di artikel media massa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkan.”
“Kita selaku warga negara Indonesia sangat bangga atas jasa beliau dalam proses pemahaman dan hubunagan antaragama dan peradaban,” sambung Bambang. “Reputasi beliau yang telah menjadi perhatian internasional sehingga Ratu Elizabeth II pun dengan bangga memberi penghargaan kepada beliau the Commander of the Order of British Empire.”
Kerajaan Inggris menganugerahkan gelar itu karena sumbangan pemikiran Azyumardi soal hubungan antarkeyakinan dan toleransi di Indonesia. Penghargaan itu sekaligus menahbiskan Azyumardi sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat sebutan “Sir”.
Azyumardi berkesempatan juga memberikan ceramah ilmiah dalam Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture ke-15. Tajuk ceramahnya, Toleransi Agama untuk Persatuan Negara-Bangsa Indonesia. Menurutnya, agama bukanlah faktor pencetus perseteruan dan perpecahan, melainkan faktor pemersatu penting dalam keragaman suku dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga: Nenek Moyang Kita Seorang Pluralis
“Agama itu menjadi faktor pemersatu penting dalam keragaman suku,” ujar Azyumardi. Orang Islam di Aceh merasa bersaudara dengan orang Islam di Jawa atau orang Islam di Bugis karena seiman. Begitu juga alasan mengapa orang Kristen di Tapanuli merasa dekat dengan Kristen di Minahasa, atau dengan Kristen di Ambon. “Dari segi budaya sama sekali berbeda, tetapi memiliki solidaritas yang ikatannya agama.”
Kawasan Timur Tengah, dalam pandangan Azyumardi dalam ceramahnya dua tahun silam, memiliki corak budaya dan sejarah yang berbeda dengan di Indonesia. Islam di Indonesia pun memiliki pengalaman berbeda dengan pengalaman Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, atau Anak Benua India. Sederet kawasan tersebut, hemat Azyumardi, mengalami penundukan politik oleh kuasa militer Muslim dari Arabia. Sementara, Islam tersiar ke pelosok Nusantara lewat penyebaran secara damai. “Proses semacam ini,” ungkap Azyumardi, “memberikan warna cukup khas bagi Islam di Indonesia, yakni Islam yang akomodatif dan inklusif.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR