Nationalgeographic.co.id - Seandainya suatu saat terjadi perubahan iklim ekstrem di muka bumi sehingga mengakibatkan jumlah populasi manusia turun drastis dan banyak flora dan fauna punah, tidak diragukan lagi kecoak akan bisa selamat dari tragedi tersebut.
Hewan mungil bersayap ini merupakan salah satu grup serangga yang pernah punya pengalaman lolos dari kepunahan minor pada Zaman Karbon sekitar 305 juta tahun lalu.
Sebuah penelitian juga membuktikan bahwa kecoak mampu hidup setelah terkena sinar radiasi, selama mereka masih bisa makan dan minum.
Kecoak mudah ditemukan di sekitar rumah kita. Sebagian besar dari kita barangkali menganggap serangga ini menyebalkan karena sangat mengganggu estetika.
Saya akan menjelaskan tentang kecoak, termasuk peran mereka menjadi vektor penyakit dan bagaimana seharusnya kita menghadapinya.
Kecoak adalah salah satu kelompok hewan unik yang paling kuno dan paling sukses bertahan hidup di muka bumi hingga saat ini.
Keberadaan kecoak telah teridentifikasi sejak Zaman Karbon, sekitar 350 juta tahun lalu. Saat itu bumi masih menjadi satu benua besar yang disebut dengan Pangaea dan kemudian terbagi menjadi Amerika utara dan selatan, Afrika, Eropa, dan Asia.
Spesies kecoak diidentifikasi dari fosil yang ditemukan dari Zaman Karbon. Mereka merupakan grup serangga utama yang fosilnya paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Eropa, dan Pegunungan Ural (kini Rusia dan Kazakhstan). Itu mengapa Zaman Karbon disebut sebagai “The Age of Cockroaches” atau Era Kecoak.
Zaman Karbon mempunyai temperatur tinggi dan berubah drastis menjadi dingin dan kering. Perubahan iklim seperti itu telah menyebabkan kepunahan banyak flora dan fauna, namun kecoak mampu bertahan hidup hingga saat ini.
Sementara itu, kecoak diyakini mampu hidup pada suhu ekstrem. Pada fase instar kecoak (fase sebelum dewasa) jenis Blaptica dubia, misalnya, menurut sebuah riset, dapat bertahan hidup dari suhu -3,1 hingga 49,9 derajat Celcius.
Kecoak mampu bertahan hidup dari Zaman Karbon karena mereka telah mencapai bentuk tubuh optimum, yaitu bentuk tubuh yang memungkinkan untuk lolos dari semua bahaya pada awal sejarah evolusi mereka.
Bentuk tubuh kecoak yang optimum dan sayap yang bisa dilipat di sepanjang tubuh (Gambar 1) membuat mereka mampu lepas dari kepunahan minor pada Zaman Karbon dan bersembunyi dari predator yang akan memangsa mereka.
Tak berlebihan jika Bumi kelak bisa menjadi Planet Kecoak karena kemampuan beradaptasi dan berkembang biak mereka yang luar biasa bisa membuat mereka menjadi makhluk hidup yang tertua di muka bumi.
Hingga saat ini, kecoak telah tersebar kurang lebih menjadi 3.500 spesies di muka bumi. Tidak hanya hidup di alam liar, tapi mereka juga mampu hidup berdampingan di pemukiman manusia.
Hidup di sekitar manusia dengan sumber daya makanan yang tak terbatas, membuat populasinya terus meningkat hingga menjadi spesies hama di pemukiman manusia.
Sebanyak 25-30 spesies kecoak telah menjadi hama bagi manusia dan 4 spesies merupakan hama pemukiman yang sangat mendominasi secara global.
Spesies kecoak hama tersebut adalah Supella longipalpa (kecoak bergaris coklat), Periplaneta americana (kecoak amerika), Blatta orientalis (kecoak asia) dan Blattella germanica (kecoak jerman).
Di Indonesia, kecoak jenis Blattella germanica dan Periplaneta americana tersebar mendominasi di pemukiman masyarakat.
Kedua jenis kecoak ini juga tersebar dengan mudah ke seluruh dunia dengan menyelip di barang-barang yang dibawa oleh kapal yang berlayar antarpulau dan benua.
Kecoak amerika mampu terbang menggunakan sayapnya untuk menghindar dari bahaya predator atau semprotan insektisida, tapi sebagian besar mereka menyelamatkan diri dengan cara menyelinap di celah-celah sempit.
Kecoak mengalami proses metamorfosis tidak sempurna karena tidak adanya fase kepompong. Proses metamorfosis tersebut dimulai dari fase telur, fase nimfa (fase sebelum dewasa), dan fase dewasa.
Sebuah riset menunjukkan nimfa kecoak jerman mengganti kulit sebanyak 5-7 kali. Umur fase nimfa kecoak jerman jantan rata-rata berkisar antara 42-123 hari dan kecoak jerman betina rata-rata berkisar 55-154 hari.
Kecoak berganti kulit sebagai media metamorfosis untuk menjadi kecoak dewasa.
Setelah kecoak jerman menjadi dewasa, biasanya betina dan jantan akan kawin. Kecoak betina akan menghasilkan telur dalam satu ooteka (kantong telur) sebanyak 36-48 butir. Setiap butir telur akan menetas menjadi seekor kecoak.
Kecoak betina mampu melahirkan keturunan (ooteka) sebanyak 6-8 kali selama hidupnya. Kecoak jerman dewasa biasanya hidup selama 120-180 hari (6 bulan).
Salah satu fungsi kecoak di alam adalah sebagai pengurai (dekomposer). Mereka memakan hewan dan tumbuhan yang telah mati.
Namun kehadiran kecoak di pemukiman manusia perlu menjadi perhatian kita karena mereka adalah vektor penyakit dan pembawa banyak bakteri patogen.
Kecoak bisa menularkan bakteri yang meracuni makanan seperti Salmonella spp. dan Shigella spp. dan juga menularkan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Staphylococcus spp., Streptococcus spp., virus hepatitis dan bakteri koliform.
Kecoak juga vektor (pembawa bakteri) dalam penyebaran diare, disentri, dan lepra. Dalam kasus diare, misalnya, kecoak dapat membawa bakteri E.coli, lalu hewan ini menempelkan bakteri ke makanan. Hal ini bisa menyebabkan diare.
Sebagian besar dari kita mencoba mengendalikan hama kecoak menggunakan insektisida. Banyak produk insektisida dijual di pasaran untuk membasmi kecoak.
Penggunaan insektisida yang tak terkontrol secara terus-menerus akan berdampak kepada kebalnya kecoak terhadap insektisida. Masyarakat cenderung memakai insektisida secara berlebihan dengan harapan mereka dapat membasmi kecoak secara instan.
Namun, penyemprotan insektisida secara terus menerus membuat kecoak memodifikasi gennya untuk dapat bertahan diri dari paparan insektisida. Gen yang membuat kecoak kebal terhadap insektifida akan terus diturunkan pada keturunan selanjutnya.
Kecoak yang mati karena insektisida adalah kecoak-kecoak yang lemah, sedangkan kecoak yang kuat akan terus bertahan hidup dan menghasilkan keturunan kecoak-kecoak yang kuat.
Efek dari hal ini adalah insektisida kurang ampuh dalam mengendalikan kecoak dan menimbulkan ledakan populasi kecoak di pemukiman.
Untuk menghindari kehadiran kecoak di pemukiman, lingkungan harus selalu dijaga kebersihannya sepanjang tahun karena kecoak menyukai tempat-tempat yang lembab dan banyak sisa makanan.
Di daerah pemukiman, sisa makanan manusia menjadi salah satu sumber makanan bagi kecoak untuk terus bertahan hidup dan bereproduksi.
Untuk membasmi kecoak di perumahan dan lingkungan, sebaiknya masyarakat menggunakan insektisida seperlunya saja. Tidak perlu berlebihan. Jenis insektisida perlu secara reguler diganti agar mereka tidak makin kebal terhadap satu jenis insektisida.
Penulis: Robby Jannatan, Lecturer of Biology, Universitas Andalas
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR