Tak berlebihan jika Bumi kelak bisa menjadi Planet Kecoak karena kemampuan beradaptasi dan berkembang biak mereka yang luar biasa bisa membuat mereka menjadi makhluk hidup yang tertua di muka bumi.
Hingga saat ini, kecoak telah tersebar kurang lebih menjadi 3.500 spesies di muka bumi. Tidak hanya hidup di alam liar, tapi mereka juga mampu hidup berdampingan di pemukiman manusia.
Hidup di sekitar manusia dengan sumber daya makanan yang tak terbatas, membuat populasinya terus meningkat hingga menjadi spesies hama di pemukiman manusia.
Sebanyak 25-30 spesies kecoak telah menjadi hama bagi manusia dan 4 spesies merupakan hama pemukiman yang sangat mendominasi secara global.
Spesies kecoak hama tersebut adalah Supella longipalpa (kecoak bergaris coklat), Periplaneta americana (kecoak amerika), Blatta orientalis (kecoak asia) dan Blattella germanica (kecoak jerman).
Di Indonesia, kecoak jenis Blattella germanica dan Periplaneta americana tersebar mendominasi di pemukiman masyarakat.
Kedua jenis kecoak ini juga tersebar dengan mudah ke seluruh dunia dengan menyelip di barang-barang yang dibawa oleh kapal yang berlayar antarpulau dan benua.
Kecoak amerika mampu terbang menggunakan sayapnya untuk menghindar dari bahaya predator atau semprotan insektisida, tapi sebagian besar mereka menyelamatkan diri dengan cara menyelinap di celah-celah sempit.
Kecoak mengalami proses metamorfosis tidak sempurna karena tidak adanya fase kepompong. Proses metamorfosis tersebut dimulai dari fase telur, fase nimfa (fase sebelum dewasa), dan fase dewasa.
Sebuah riset menunjukkan nimfa kecoak jerman mengganti kulit sebanyak 5-7 kali. Umur fase nimfa kecoak jerman jantan rata-rata berkisar antara 42-123 hari dan kecoak jerman betina rata-rata berkisar 55-154 hari.
Kecoak berganti kulit sebagai media metamorfosis untuk menjadi kecoak dewasa.
Setelah kecoak jerman menjadi dewasa, biasanya betina dan jantan akan kawin. Kecoak betina akan menghasilkan telur dalam satu ooteka (kantong telur) sebanyak 36-48 butir. Setiap butir telur akan menetas menjadi seekor kecoak.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR