Nationalgeographic.co.id - Ancaman terhadap kesehatan penduduk di beberapa provinsi di Pulau Kalimantan dan Sumatra makin meningkat dalam beberapa pekan terakhir akibat “serangan” asap pekat dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sebagian dua pulau tersebut.
Dalam 8 bulan terakhir, setidaknya lebih dari 320 ribu hektare – setara dengan hampir lima kali lipat luas daratan Provinsi DKI Jakarta – hutan dan lahan di dua pulau itu membara.
Dampaknya tidak hanya dirasakan di daerah tempat terjadinya kebakaran, tapi juga telah menjangkau hampir seluruh Sumatra hingga Malaysia dan Singapura.
Asap tebal ini mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat seperti transportasi dan mobilisasi karena jarak pandangan terhambat atau iritasi langsung pada mata.
Selain itu, banyak sekolah diliburkan di wilayah tersebut untuk menghindari dampak buruk yang terjadi pada anak. Meliburkan sekolah merupakan langkah tepat karena asap dari kebakaran ini bisa merusak kesehatan anak-anak.
Sejumlah riset telah membuktikan dengan jelas bahwa asap kebakaran hutan menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, kekurangan oksigen, asma berat, pemicu kanker, dan sejumlah penyakit lainnya.
Zat-zat yang terkandung di dalam asap menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Asap kebakaran hutan mengandung tiga komponen utama yang berbahaya bagi kesehatan:
Komponen tersebut dapat menimbulan dampak yang bersifat langsung (akut) dan yang berlangsung lama (kronis).
Pada kondisi akut, partikel padat dan zat-zat kimia yang terkandung dalam asap menyebabkan iritasi langsung pada mata dan saluran pernafasan. Paparan pada mata dapat menyebabkan mata perih dan berair.
Begitu juga, udara yang dihirup dalam proses pernafasan yang mengandung asap kebakaran hutan, akan menyebabkan iritasi langsung pada tenggorokan dan seluruh saluran pernafasan. Hal ini memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan gejala batuk dan sesak nafas.
Penelitian membuktikan bahwa ISPA merupakan gangguan kesehatan utama yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat secara langsung akibat paparan asap kebakaran hutan. Gejala sesak nafas tentu diperberat tidak hanya karena iritasi akibat partikel padat yang terdapat pada asap, tapi juga akibat tingginya gas CO2 dan CO.
Dampak langsung terhadap saluran pernafasan telah terlihat nyata dialami oleh masyarakat pada kebakaran hutan saat ini. Berbagai media telah melaporkan bahwa asap yang tebal telah menyebabkan hampir satu juta orang di dua pulau lokasi kebakaran terkena infeksi saluran pernafasan.
Riset Marice Sihombing dan koleganya (2010) dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan melaporkan bahwa iritasi dan radang saluran pernafasan akibat paparan asap juga mempermudah munculnya serangan asma berat pada orang dengan riwayat asma.
Akibat akut juga dapat disebabkan oleh gas CO yang terhirup pada saat pernafasan akan berdampak langsung terhadap asupan oksigen bagi tubuh.
Karbon monoksida (CO) tersebut diserap melalui kapiler paru, selanjutnya akan mudah berikatan dengan hemoglobin (Hb), membentuk CoHb, yang menghambat suplai oksiden. Hal ini karena karbon monoksida lebih mudah terikat dengan Hb dibandingkan dengan oksigen (O2).
Akibatnya dapat menimbulkan keluhan sakit kepala, mual, bahkan pingsan dalam skala berat.
Dalam jangka panjang atau kronis, paparan asap kebakaran hutan dapat menurunkan fungsi paru-paru.
Paparan CO dalam konsentrasi rendah pada waktu lama dapat berdampak pada sistem saraf. Bahkan, di antara zat-zat pada asap pada kebakaran hutan juga bersifat karsinogenik atau zat yang menjadi risiko terjadinya kanker, seperti CO, dioksin, logam berat kadmium, dan lainnya.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan kimia di tempat kerja, yang diperkuat oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk lingkungan kerja sehat menetapkan nilai batas ambang CO2 9.000 mg/m3 (setara 9 ppm), CO 29 mg/m3 (0,029 ppm), sedangkan CH4 tidak dapat ditoleransi karena dapat menyebabkan sesak dan nafas berhenti.
Riset Ati Dwi Nurhayati dan koleganya (2010) dari Institut Pertanian Bogor menunjukkan kebakaran hutan rawa dan gambut di Pulau Sumatra dan Kalimantan menyebabkan tingginya emisi gas penyebab panas (gas rumah kaca), termasuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), dan metan (CH4). Karbon dioksida (CO2) merupakn gas dengan emisi tertinggi (di atas 10.393-10678 ppm), diikuti oleh CO (1223-2176 ppm) dan CH4 (273-306 ppm).
Kadar gas tersebut di dalam udara tidak sehat jika ditempati dalam waktu lama untuk bekerja dan beraktifitas.
Dampak langsung atau akut terhadap pernafasan dan suplai oksigen tubuh, dan berbagai sistem organ lainnya sangat mungkin terjadi karena kadar gas CO2, CO, atau lainnya jauh melebihi batas normal yang sesuai dengan syarat kesehatan.
Penyelesaian dan pencegahan terhadap dampak kesehatan dari asap yang mengandung zat-zat berbahaya ini tidak dapat dipisahkan dari akar masalahnya: kebakaran hutan dan lahan.
Memadamkan bara api di hutan dan lahan saat ini dan mencegahnya berulang pada masa depan merupakan upaya ‘kuratif’ primer dan yang paling ampuh untuk mencegah ancaman bagi kesehatan penduduk.
Kita tahu bahwa pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan bukan masalah sederhana. Kebakaran hutan dan lahan adalah masalah kompleks yang saling berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
Hutan dan lahan yang terbakar sebagian besar merupakan lahan gambut yang sulit dipadamkan apinya.
Selain itu, faktor iklim dan cuaca pada saat kekeringan juga mempengaruhi munculnya dan beratnya dampak kebakaran hutan dan lahan ini.
Oleh karena itu terjadi perdebatan panjang tentang apa dan bagaimana langkah dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Tapi cukup jelas bahwa bencana asap dan kebakaran lahan adalah sebuah bencana buatan manusia di tanah air ini yang tidak pernah selesai sejak dulu.
Karena itu, seperti hasil penelitian Febri Yuliani (2011) dari Universitas Padjajaran yang mengambil sampel kebakaran hutan di Rokan Hilir Riau menunjukkan bahwa pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan membutuhkan upaya yang sistematis. Butuh kebijakan yang kuat dengan implementasi yang tegas dalam sistem tata kelola perkebunan dan hutan.
Dalam skala mikro, khususnya bagi masyarakat yang terkena dampak asap kebakaran hutan dan lahan ini, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) telah mengeluarkan panduan mengatasi atau mengurangi dampak dari asap tersebut.
Upaya primer yang dapat dilakukan adalah meminimalkan paparan terhadap asap, dengan cara mengurangi aktifitas di luar ruangan. Hal ini sangat bisa ditekankan kepada anak-anak agar tidak bermain di luar rumah saat ada bencana ini.
Selain itu, sangat disarankan untuk tidak menambah polusi udara seperti membakar sampah, merokok, dan menyalakan lilin di dalam rumah. Termasuk dalam langkah ini adalah dengan menutup pintu dan jendela rapat-rapat untuk mengurangi polusi masuk ke dalam ruangan.
Upaya sekunder adalah mendeteksi lebih awal dan pengobatan segera. Jika ada anggota keluarga yang mengalami gelaja-gajala akibat paparan asap, seperti sesak nafas, batuk, sakit kepala yang makin lama makin berat, maka perlu diperiksa dan diobati segera ke dokter.
Penulis: Hardisman Dasman, Associate Professor in Community Medicine and Healthcare Policy, Universitas Andalas
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR