Saya menemukan bahwa paparan terhadap kebakaran memperlambat tingkat pertumbuhan hingga satu milimeter per bulan dalam periode tiga bulan antara paparan pertama hingga kebakaran hutan dan lahan pada September 1997, dan pengukuran terakhir pada bulan Desember.
Terdengar sepele? Perlu diingat bahwa pertumbuhan anak seharusnya mencapai satu sentimeter per bulan. Berdasarkan studi yang saya lakukan, anak-anak tersebut kehilangan sepersepuluh tingkat perkembangan.
Kabut asap tahun 1997 berlangsung hanya beberapa bulan. Tetapi, beberapa bulan adalah waktu yang panjang bagi balita.
Dan, untuk kelompok umur yang saya pelajari, kebakaran terjadi pada periode kritis di mana perkembangan otak sangat sensitif terhadap asupan gizi.
Kondisi ini berdampak penting saat anak-anak tersebut mencapai usia sekolah.
Baca Juga: Tak Hanya di Negaranya Sendiri, Perang Nuklir India-Pakistan Akan Picu Bencana Lingkungan Global
Rata-rata mereka akan tertunda masuk sekolah dasar hingga enam bulan dan mendapatkan pendidikan satu tahun lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang tidak terkena kebakaran.
Belum jelas apakah kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 akan mencapai skala bencana yang terlihat pada tahun 1997 atau 2015.
Tetapi, semua studi ini menyiratkan bahwa paparan terhadap kebakaran hutan menimbulkan risiko nyata bagi kesejahteraan manusia.
Generasi anak-anak Indonesia sebelumnya membayar telah membayar mahal – jika kita ingin memastikan bahwa anak-anak masa kini tidak mengalami masalah yang sama, maka tindakan perlu diambil untuk melindungi mereka yang paling rentan.
Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.
Penulis: Maria C. Lo Bue, Research Associate, World Institute for Development Economics Research (UNU-WIDER), United Nations University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR