Nationalgeographic.co.id - Situs percandian Batujaya berjarak kurang dari 1 kilometer di sebelah timur aliran Sungai Citarum. Luas kompleksnya mencapai 5 kilometer persegi atau 500 hektar yang mencakup wilayah Desa Segaran Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya Kecamatan Pakisjaya, sekitar 47 kilometer arah barat laut dari pusat kota Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Kompleks Candi yang pertama kali diteliti tim jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1985 itu memiliki 30 situs candi dan tempat pemujaan.
Beberapa candi besar yang sudah diekskavasi adalah Candi Jiwa yang berbentuk bujur sangkar ukuran 19 meter x 19 meter serta Candi Blandongan yang berukuran 25,33 meter x 25,33 meter.
Inilah kompleks percandian Batujaya, kompleks candi tertua yang pernah ditemukan di Indonesia hingga saat ini. Melalui metode isotop Carbon-14, candi Buddha ini dibangun pertama kali antara abad ke-6 dan ke-7 dan dilanjutkan abad ke-9 dan ke-10.
Tidak hanya tertua, keberadaan candi di dekat Sungai Citarum ini seakan memberikan bukti Indonesia dilahirkan lewat rahim orang-orang berbekal teknologi tinggi.
Langkah peresmian status Cagar Budaya Nasional untuk Kompleks Percandian Batujaya dinilai sudah tepat, mengingat pentingnya kedudukan kawasan situs tersebut dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Pada 11 Maret 2019 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendy menandatangani secara langsung pemeringkatan status cagar budaya itu.
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya meresmikan status Kompleks Percandian Batujaya menjadi Cagar Budaya Nasional.
Walaupun disematkan label percandian, sebenarnya di kawasan situs percandian Buddha di Jawa Barat ini ditemukan juga jejak masa prasejarah seperti rangka manusia.
Para ahli memperkirakan rangka dengan bekal tersebut berasal dari abad ke-1 sampai ke-3. Bekal kuburnya berupa wadah tembikar, perhiasan, alat logam, alat tulang, dan kapak persegi.
Tinggalan ini kemudian disebut budaya Buni yang berasal dari awal Masehi hingga tahun 500.
Dalam rentang waktu tersebut masyarakatnya sudah melakukan kontak budaya dengan India, terbukti dengan ditemukannya gerabah dan manik-masik yang berasal dari Arikamedu, India Selatan.
Beberapa Candi di Batujaya, Candi Blandongan contohnya, diperkirakan dibangun dalam dua fase atau dengan kata lain sempat direvitalisasi.
Pembangunan fase pertama diperkirakan sekitar abad 6 sampai 7 dan fase kedua sekitar abad 8 sampai 10.
Pendapat ini didasari oleh warna bata agak kontras: bata pembangunan fase pertama berwarna lebih gelap dari bata pembangunan fase kedua.
Ditemukannya rangka manusia di wilayah percandian adalah hal yang sangat langka di Indonesia.
Jejak kebudayaan dari masa prasejarah dan Hindu-Buddha memunculkan dugaan bahwa di Batujaya terjadi transisi kebudayaan dari prasejarah menuju masa sejarah, sekaligus menandakan bahwa situs Batujaya adalah situs percandian tertua di Indonesia.
Baca Juga: Temuan Prasejarah Ini Ungkap Bayi Sudah Diberi Susu Sapi Sejak 5.000 Tahun Lalu
Candi yang dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten itu menjadi bukti kesinambungan budaya sejak masa prasejarah hingga masa Hindu-Buddha.
Candi Tua yang Berbahan Bata
Inskripsi yang ditemukan di wilayah Batujaya menceritakan tentang Kerajaan Tarumanagara di wilayah itu dulu. Candi ini menggunakan bahan yang berbeda dengan candi-candi di Jawa pada umumnya yang justru menggunakan bahan bata di masa yang jauh lebih muda.
Situs percandian Batu Jaya di Karawang, Jawa Barat, ditemukan sejak 1984. Namun, hingga kini publik belum banyak mengenal peninggalan bersejarah dari Kerajaan Tarumanegara abad ke-5 Masehi itu.
Bagi para peneliti atau arkeolog, situs yang telah berulang kali diekskavasi itu juga masih menyimpan banyak misteri.
Kenapa Candi Serut di situs percandian Batujaya itu berbentuk miring?
Kenapa ada lubang-lubang menyerupai penyangga tiang di Candi Blandongan, dan apa fungsinya?
Banyak pertanyaan mengenai Batujaya yang saat ini belum bisa dijawab baik oleh pejabat maupun arkeolog di Balai Pelestarian Cagar Budaya. Perlu kajian lebih lanjut untuk mengungkapnya.
Pada musim hujan ini, beberapa candi dan unur di Batu Jaya terendam air. Unur adalah bukit-bukit sinusoidal dengan struktur menyerupai percandian, atau bagian dari percandian.
Baca Juga: Nikmati Wisata Bandung Tempo Dulu: dari Jalanan Kaya Akan Sejarah Hingga Kuliner Nan Renyah
Bahkan, di satu lokasi di Telaga Jaya 8, satu unur, yakni Situs Sumur, sepenuhnya tenggelam, tak satu bongkah pun tersembul, seperti tampak saat Kompas menyambanginya pertengahan Januari 2015.
Setengah Candi Serut juga terendam air, menyembunyikan beberapa sekat menyerupai ruang yang ditemukan dalam proses ekskavasi belum lama ini.
”Kalau tidak terendam air, akan terlihat ruang-ruang kosong di tengah Candi Serut ini, lalu ada penahan kayu memanjang. Lalu, ada seperti pagar bergelombang, sekat-sekat yang mungkin untuk ruang-ruang biksu karena candi ini, kan, untuk peribadatan. Sekeliling candi ini masih terus digali untuk mengetahui luas seluruhnya,” kata Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang Zakaria dalam sebuah kesempatan beberapa waktu silam.
Candi Serut, yang terletak sangat dekat dengan perkampungan warga ini, berbentuk miring. Belum diketahui penyebab kemiringan itu, disengaja, anjlok, atau ada sebab lain.
Yang pasti, kemiringan Candi Serut tetap dipertahankan pada saat pemugaran mengingat salah satu syarat pemugaran adalah harus sesuai dengan aslinya. Sebanyak 53 candi dan unur bata di Batujaya diyakini hadir pada masa Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 Masehi.
Semua itu dikelola BPCB Serang, yang bertanggung jawab kepada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud) dan dimonitor Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud.
Nama BPCB Serang merujuk pada lokasi kantor pusatnya, yakni di Serang, Banten. Namun, BPCB Serang ini menaungi 1.059 cagar budaya yang tersebar di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung, termasuk Batujaya.
Situs Batujaya menjadi prioritas pelestarian sejak ditemukan pada tahun 1984 oleh tim dari Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (berdasarkan informasi warga) yang saat itu sedang meneliti situs Cibuaya. Banyak penemuan menarik di sini selain percandian.
Salah satunya, 16 rangka manusia yang ditemukan tiga kali, yakni pada 2005 (7 rangka), pada Mei 2010 (6 rangka), dan pada Oktober 2014 (3 rangka). Penemuan lain antara lain berupa gelang emas, manik-manik, gerabah, keramik, dan senjata logam.
Analisis morfologis terhadap rangka-rangka manusia itu menunjukkan ada komponen anatomis yang hampir lengkap di sebagian besar rangka, dari tengkorak hingga pergelangan kaki. Tulang-belulangnya sangat tebal dan keras.
Ahli arkeologi Harry Widianto dengan fasih menjelaskan ciri-cirinya. Bentuk tengkorak yang tinggi dan bundar termasuk jenis tengkorak brachycephal.
Melihat langit-langit rahang atas, muka yang datar, keausan gigi, dan ciri-ciri lain, semua itu menunjuk pada jenis ras Mongoloid, ras kita saat ini.
Bambang Budi Utomo beserta tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menganalisis pertanggalan melalui metode C-14 dengan sampel arang dari hasil penggalian di Candi Blandongan.
Hasilnya, rangka manusia yang ditemukan di situs itu diperkirakan hidup abad ke-2 hingga ke-3 Masehi, periode akhir dari Masa Prasejarah di Indonesia.
”Hampir pasti, inilah kuburan para pendukung budaya Buni, budaya masa paleometalik yang sangat akrab dengan alat-alat logam dan mengembangkan teknologi gerabah berslip merah pada akhir prasejarah di Jabar. Kalau melihat candi-candi yang mengacu pada budaya Hindu dan Buddha, mereka ini mewakili masyarakat dari zaman peralihan, prasejarah ke sejarah. Mereka hidup dengan pola prasejarah, tapi memeluk agama baru, lantas mendirikan candi,” papar Harry, yang juga arkeolog dan ahli paleoantropologi.
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR