Nationalgeographic.co.id – Rubah terbang berkepala abu-abu di Yarra Bend Park, Melbourne, Australia, memiliki awal musim semi yang normal dan tenang.
Pada September dan Oktober—waktu musim semi di Australia dan musim melahirkan bagi kelelawar dengan panjang 11 inci ini—banyak rubah terbang yang telah kembali ke taman dari migrasi musim dingin mereka di pesisir pantai.
Baca Juga: Peneliti: Perlu Waktu Puluhan Tahun untuk Pulihkan Alam Australia Pascakebakaran
Menurut ahli biologi Stephen Brend, yang bertugas memantau rubah terbang berkepala abu-abu di provinsi Victoria (termasuk Yarra Bend Park yang menjadi rumah mereka), para kelelawar betina melahirkan anaknya dengan normal. Semuanya sesuai dengan jadwal.
“Namun kemudian kengerian terjadi. Suhu menjadi sangat panas dengan cepat,” kata Brend.
Tak mampu bertahan di suhu yang ekstrem tersebut, rubah terbang sekarat. Dan tiga hari sebelum Natal, ketika suhu melebihi 100 derajat Fahrenheit (37,7 derajat celsius), ada sekitar 4.500 rubah terbang berkepala abu-abu yang mati—memusnahkan 15% dari populasi koloni.
Tragedi ini juga menimpa satwa liar di seluruh Australia akibat panas ekstrem yang bagi mereka sama mematikannya seperti kobaran api. Besar, kecil, cepat ataupun lambat, hewan endemik Australia menjadi korban dari gelombang panas dan kebakaran hutan yang menyerang negara tersebut.
Diketahui bahwa 2019 menjadi tahun terpanas dan terkering di Australia sepanjang sejarah. Saat planet menghangat, kebakaran dalam skala akan sering terjadi dan berlangsung dalam waktu lama.
Bagi rubah terbang berkepala abu-abu yang didefinisikan sebagai spesies terancam punah oleh International for the Conservation of Nature (IUCN), tewasnya spesies mereka sangat mengkhawatirkan.
Koloni rubah terbang di wilayah lain juga mengalami nasib serupa. Justin Welbergen, profesor ekologi hewan di Western Sydney University sekaligus presiden Australasian Bat Society mengatakan bahwa pada 4 Januari, ribuan bayi rubah terbang mati di sarangnya di sekitar New South Wales, di mana suhunya mencapai 121 derajat Fahrenheit.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR