Nationalgeographic.co.id - Ketakutan bahwa gangguan-gangguan digital dapat merusak hidup dan pertemanan kita telah tersebar luas.
Yang pasti, kecanduan digital itu nyata. Coba pertimbangkan: kita menyentuh ponsel kita 2.600 kali setiap hari, kita panik kita ketika lupa tempat menaruh gawai, kita merasa ponsel bergetar padahal tidak (dikenal sebagai phantom vibration syndrome), dan kita melihat pemberitahuan ada pesan masuk itu sama mengganggunya seperti melihat pesan itu sendiri.
Kecanduan ini dapat memiliki akibat nyata. Misalnya, orang lain tersinggung jika ketika saat mengobrol, kita berhenti berbicara untuk menjawab pesan masuk. Proses berpikir mendalam kita juga terganggu ketika kita melirik gawai saat melakukan suatu pekerjaan.
Baca Juga: Dari Siri Hingga Alexa, Ini Sisi Gelap dari Teknologi Asisten Pribadi
Tapi tentu tidak semuanya buruk. Kita juga perlu mengakui bahwa teknologi dewasa ini dapat membuat kita lebih terhubung daripada sebelumnya.
Jadi bagaimana kita menghindari potensi hal-hal buruk sambil tetap menuai manfaatnya?
Sebagai seorang peneliti di bidang teknologi dan komunikasi, selama hampir dua dekade saya telah memperhatikan bagaimana cara berinteraksi melalui layar berbeda dengan interaksi dengan cara lain, termasuk tatap muka, dengan menelepon, dan secara tertulis.
Tim penelitian saya telah menerbitkan berbagai riset yang menunjukkan bahwa orang lebih mementingkan diri sendiri (yaitu, mereka lebih sering berbohong), lebih negatif (misalnya, memberi orang lain peringkat umpan balik yang lebih rendah), dan lebih tidak kooperatif) ketika mereka menggunakan sarana komunikasi digital. Dan untuk anak di bawah lima tahun, ada kekhawatiran serius untuk perkembangan otak.
Ketakutan kita mengenai dampak dari meningkatnya penggunaan layar pada diri dan anak-anak kita melibatkan tiga hal utama: kesehatan mental, kecanduan, dan tingkat keterlibatan dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Risiko di ketiga area tersebut pada umumnya dilebih-lebihkan.
Banyak studi yang dilakukan terhadap potensi adanya kaitan antara depresi dan penggunaan ponsel - terutama pada remaja - namun bukti terbaru tampaknya mengindikasikan bahwa kaitan tersebut lemah.
Sementara untuk kecanduan, bidang psikologi sekarang telah mengakui kecanduan video game sebagai masalah yang nyata dan dapat didiagnosis. Cerita dari pusat rehabilitasi tentang orang-orang yang hidupnya rusak karena video game menunjukkan fenomena dan penderitaan tersebut bisa sangat nyata.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR