Nationalgeographic.co.id - Parotia barat adalah endemik asli pegunungan bagian barat Papua Nugini. Mungkin jenis ini bukan yang paling berwarna dibanding burung cendarawasih lainnya. Namun, ini termasuk jenis burung-burung surga (Paradisaidae) yang paling lucu menurut sang empu foto bernama Tim Laman.
Seekor parotia jantan gemar membersihkan dan memelihara arena berdansa yang disebut sebagai "istana". Setiap hari ia membersihkanya dari dedaunan dan puing yang jatuh untuk mempertahankan istana itu.
Tim Laman mengamati perilaku parotia barat dengan menemukan istana-istana yang aktif dan membangun sebuah gubuk beralas kayu dan dedaunan sehingga tidak terlihat oleh hewan liar.
Baca Juga: Penemuan Unik, Lebah Berjenis Kelamin Setengah Betina Setengah Jantan
Setiap hari, ia mengamati parotia jantan mengurus istananya dan berlatih dansa. Sesekali parotia jantan memperlihatkan dansanya pada para betina.
Tarian-tarian parotia jantan memiliki ciri gerakan yakni merunduk sebelum berdansa, seperti seorang ksatria yang sedang menyebah raja. Lalu tarian yang paling dinanti Tim, gerakan andalannya, yakni tarian balerina.
Parotia jantan memiliki bulu dada yang memanjang. Menciptakan bentuk yang tidak biasa, yakni seperti tutu balerina.
Saat parotia menghempaskan bulunya, maka ia seperti membentangkan rok di tubuhnya. Dari situ, Tim merasa bahwa parotia barat memiliki kepribadian. Momen di Pegunungan Arfak itu membuatnya sulit menahan tawa.
"Ketika pertama kali saya melihat parotia mengangkat roknya ke pose balerina, dan mengocok enam bulunya yang seperti kawat itu di kepalanya secara bolak-balik, sebenarnya sulit untuk menahan tawa, tapi saya mencoba berkonsentrasi pada fotografi saya! Saya harap gambar ini membawa senyum ke wajah Anda juga," ucap Tim pada buletinnya.
Tim Laman mengatakan bahwa dirinya ingin sekali memotret para betina yang sedang menyaksikan tarian parotia jantan. Seperti cendrawasih wilson, parotia betina juga menonton performa sang jantan dari atas.
Namun, ia masih belum mendapatkan sudut gambar yang menarik saat potret parotia pertamanya pada tahun 2004.
Lalu pada tahun 2016, Tim Laman akhirnya kembali lagi ke Pegunungan Arfak untuk mengambil gambar parotia barat bersama Ed Scholes dari Cornell Lab of Ornithology saat bersama-sama menggarap serial Netflix yang berjudul Our Planet.
Mereka kembali dengan alat fotografi lebih lengkap untuk mengambil gambar dari sudut pandang si betina (top-down).
Masing-masing dari mereka membuat ekspedisi selama satu bulan. Bekerja untuk pengambilan gambar parotia barat dan spesies lain di wilayah tersebut.
Alhasil Tim dan Ed berhasil mendapatkan momen klimaks dimana tarian balerina pejantan disaksikan oleh sang betina.
Sang pejantan menghempaskan bulu yang menutupi dadanya membentuk tutu balerina hitam dengan titik kuning terang yang fokus.
Tim yakin bahwa pengambilan gambar yang ditangkap adalah perilaku hewan liar dengan cara yang belum pernah dilihat sebelumnya. Oleh karena itu, momen tersebut merupakan hal yang paling memuaskan bagi karier Tim.
"Sangat menarik untuk mendokumentasikan perilaku di alam liar dengan cara yang belum pernah dilihat sebelumnya, dan terutama yang mengungkapkan informasi biologis baru. Bahkan, sebagai seorang ahli biologi/fotografer, peluang semacam ini adalah salah satu hal yang saya anggap paling memuaskan dari pekerjaan saya," ucap Tim.
Faktor terpenting dalam kesuksesan film Our Planet Birds of Paradise ialah menemukan jantan yang tepat dan aktif untuk menarik perhatian betina menurut Tim.
Untuk pemotretan film, Tim dan Ed dipandu oleh pemilik tanah lokal untuk memeriksa lebih dari sepuluh lokasi-lokasi istana burung parotia barat sebelum memilih salah satunya.
Area yang dipilih adalah yang menunjukkan tanda-tanda aktivitas yang baik dan berada di lingkungan dengan latar indah, serta memiliki ruang untuk memasang gubuk.
Keahlian Ed Scholes ialah memilih istana terbaik dan memperikarakan apa yang akan dilakukan oleh pejantan parotia barat. Ed juga memiliki gelar Ph.D. tentang perilaku parotia.
Kamera-kamera terpasang di berbagai sudut yang berbeda. Kombinasi pemotretanya ialah dengan kamera digital RED yang berada di balik gubuk. Lalu dikombinasikan dengan kamera jarak jauh yang tersembunyi di berbagai posisi.
Tim memulai pemotretan sejak pukul 3 atau 3:30 dini hari, bersiap untuk mendaki ke lokasi memakan waktu satu jam dan memastikan agar kamera jarak jauh berada di posisinya sebelum terbit waktu fajar.
Walaupun hal ini melelahkan, hasilnya pun sepadan dengan perjuangan yang dilakukan.
"Melakukan hal ini setiap hari selama berminggu-minggu bisa melelahkan, tetapi hasil akhirnya ialah suatu rekaman yang belum pernah dilihat sebelumnya, sepadan!," ucap Tim dengan riang.
Tim Laman adalah seorang ahli biologi lapangan, jurnalis foto satwa liar, dan pembuat film.
Sejak mendapatkan gelar Ph.D. dari Harvard untuk merintis penelitian di kanopi hutan hujan Kalimantan, kamera telah menjadi alat untuknya guna menceritakan kisah satwa liar yang langka dan terancam punah, juga mengungkapkan beberapa tempat paling liar di bumi.
Dia telah memotret di tujuh benua, dan secara teratur melakukan perjalanan ke beberapa sudut paling terpencil di bumi untuk menjelajah dan mendokumentasikan spesies yang kurang dikenal.
Tim menghabiskan waktu berbulan-bulan dalam setahun untuk ekspedisi, mempelajari, dan memotret keanekaragaman hayati bumi.
Baca Juga: Koala Korban Kebakaran Hutan Australia Dikembalikan Ke Habitatnya
Pada bio singkat di halaman websitenya disebutkan bahwa Tim telah menerbitkan 23 cerita fitur di majalah National Geographic, serta menggarap film untuk National Geographic Channel, BBC, dan Netflix.
Kredit pembuatan filmnya termasuk BBC "Planet Earth II" dan "Seven Worlds - One Planet", serta Netflix "Our Planet - Jungles" yang dinominasikan untuk Emmy for Best Cinematography pada tahun 2019.
Tim telah mengumpulkan banyak penghargaan, termasuk hadiah Fotografer Satwa Liar Tahun Ini pada tahun 2016, dua puluh gambar pemenang lainnya dalam kompetisi itu selama bertahun-tahun, tempat pertama Nature Story dari World Press Photo, dan "Nature Photographer of the Year" dari Asosiasi Fotografi Alam Amerika Utara.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | timlaman.com |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR