Pemerintah dengan segala upayanya masih belum optimal dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap bahaya wabah dan kemudahan akses kesehatan.
Dalam komunikasi terkait wabah, misalnya, pemerintah masih menggunakan istilah rumit dan hanya mudah dipahami masyarakat perkotaan terdidik yang berasal dari kelas menengah.
Pejabat pemerintah bahkan bisa mengeluarkan pernyataan berbeda-beda, padahal keadaan darurat membutuhkan komunikasi yang komprehensif dan konsisten.
Belum lagi keengganan pemerintah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan sungguh-sungguh.
Dalam hal akses, penduduk miskin mengalami kesulitan untuk mendapatkan tes COVID-19 dan masyarakat menengah ke bawah menjadi lebih rentan.
Pemerintah hanya menyediakan tes gratis di rumah sakit bagi mereka yang pernah kontak dengan kasus positif atau mengunjungi daerah berisiko dan menunjukkan gejala klinis COVID-19. Padahal beberapa kasus terbukti tanpa gejala umum.
Sementara, masyarakat yang mampu dapat melakukan tes secara mandiri di rumah sakit dengan biaya yang cukup mahal.
Pemerintah akhir-akhir ini gencar mengumandangkan pelonggaran pembatasan dan telah mengeluarkan protokol untuk apa yang pemerintah sebut sebagai “tatanan normal baru”.
Kepatuhan masyarakat menjadi semakin penting. Upaya membangun kesadaran masyarakat harus ditingkatkan dengan berbagai cara.
Di antaranya, pertama, dengan melakukan komunikasi yang lebih efektif hingga ke akar rumput, melalui berbagai media dan metode yang sesuai dengan keragaman usia, pendidikan dan budaya masyarakat/kearifan lokal.
Baca Juga: Empat Tanda Anda Meremehkan dan Merendahkan Penyakit Mental
Kedua, kampanye yang lebih jelas dan terarah sehingga masyarakat memiliki kesamaan pandangan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit; alih-alih sebagian patuh dan sebagian melanggar sehingga sia-sia semua upaya sia-sia.
Kampanye membangun optimisme Indonesia bisa menghadapi COVID-19 juga perlu diciptakan dan lebih kuat disosialisasikan.
Ketiga, mempermudah akses kesehatan dengan informasi yang jelas dan terus-menerus sehingga masyarakat cepat melakukan tindakan pemeriksaan, pengobatan dan isolasi mandiri ketika terinfeksi.
Keempat, kebijakan yang konsisten sehingga tidak membingungkan masyarakat.
Penulis: Anastasia Heni, Assistant researcher, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR