Prasangka buruk hadir untuk meningkatkan citra diri dari seorang individual atau kelompok.
Individu atau kelompok yang memandang rendah kelompok lain secara emosional akan menghasilkan prasangka bahwa ia lebih baik dari orang atau kelompok lain.
Ketika suatu individu atau kelompok merasa jauh lebih baik dari kelompok yang lain maka secara alamiah ia akan memiliki persepsi bahwa ia berhak untuk memimpin atau mendominasi orang atau kelompok lain.
Prasangka bisa hadir pada pola pikir manusia karena proses ini tidak melibatkan proses pemikiran yang kompleks. Otak manusia secara alami juga menghindari proses kognitif yang kompleks.
Prasangka hadir secara cepat dan efisien dalam dalam proses kognitif manusia. Prasangka membentuk keseragaman informasi dalam penalaran manusia yang kemudian dikenal dengan stereotip.
Stereotip yang sudah terbentuk lama membuat seseorang tidak melakukan proses berpikir panjang, hati-hati, atau sistematis. Bekal “pengetahuan” yang diperoleh sedari kecil menjadi jalan pintas individu dalam memberikan label pada orang lain.
Alice Eagly dan Amanda Diekman - pakar psikologi dari Amerika Serikat - menjelaskan konsep prasangka yang lebih mudah dipahami.
Menurut mereka, prasangka merupakan sikap yang sangat kontekstual. Konteks yang dimaksud adalah kesesuaian antara stereotip dan harapan peran sosial dari objek sosial tertentu. Jika ditemukan ketidaksesuaian, maka muncullah sikap negatif, atau diskriminasi.
Jadi, secara teoritis, tindakan diskriminatif adalah hasil dari stereotip yang sudah terbentuk sejak lama. Stereotip terbentuk dalam proses pembentukan karakter dari individu sejak kecil dan kemudian melekat secara alamiah di bawah otak tidak sadarnya.
Rasisme terbuka dan terstruktur bisa dilihat dari kebijakan apartheid di Afrika Selatan pada 1948 yang secara terbuka memisahkan kedudukan dan hak orang kulit hitam dan kulit putih.
Bahkan rasisme terbuka bisa muncul di antara masyarakat kulit hitam. Peristiwa pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda menunjukkan etnosentrisme budaya bisa menjadi akar dari perang antarsuku.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR