Nationalgeographic.co.id - Kematian seorang penduduk kulit hitam George Floyd pada akhir Mei lalu setelah dia disiksa oleh seorang polisi kulit putih di Amerika Serikat (AS) membangkitkan kembali gerakan kesetaraan ras yang dikenal dengan “black lives matter”.
Di Indonesia, perjuangan senada juga didengungkan oleh masyarakat Papua. Salah satu momen menonjol wujud diskriminasi masyarakat Papua adalah rentetan penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, pada Agustus tahun lalu. Peristiwa ini kemudian memunculkan aksi protes dari masyarakat Papua yang mengecam rasisme.
Rasisme bisa muncul di mana saja, baik di negara berkembang maupun negara maju. Pelakunya bisa aparat negara atau anggota masyarakat.
Baca Juga: Mengapa Banyak Orang Tidak Mematuhi Protokol COVID-19? Ini Analisis Peneliti
Rasisme bisa saja muncul tidak hanya dari perbedaan warna kulit tapi juga dari perbedaan kebudayaan yang membawa pada sekat-sekat peminggiran dan superioritas budaya tertentu.
Seseorang bisa menjadi rasis karena dipengaruhi oleh pola pembentukan karakter sejak ia lahir, norma sosial di masyarakat dan sistem politik, ekonomi dan budaya sebuah negara yang cenderung rasis. Namun demikian, negara memiliki pengaruh besar untuk melanggengkan atau sebaliknya menghapus rasisme.
Akar dari rasisme bisa dilihat dari bagaimana konstruksi ide yang dibentuk untuk alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, satu hasil penelitian psikologi rasisme di Afrika Selatan menunjukkan bahwa pembentukan ide yang menyatakan orang kulit putih memiliki kedudukan yang istimewa mengantarkan pada hegemoni politik sejak masa poskolonialisme pada tahun 1900-an di negara tersebut.
Rasisme didefinisikan sebagai sekumpulan ide-ide dan kepercayaan yang memiliki potensi untuk menyebabkan seseorang membentuk prasangka buruk yang pada akhirnya membawa pada perilaku negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Secara sederhana, ide dan kepercayaan yang salah membentuk prasangka buruk; prasangka buruk kemudian menghasilkan perilaku negatif yaitu diskriminasi.
Diskriminasi adalah produk intelektual manusia yang berakar dari kesalahan kognitif.
Dalam ilmu psikologi kognitif, otak manusia adalah prosesor yang mengolah keseluruhan informasi yang kemudian menghasilkan keputusan dan tindakan.
Otak manusia mengolah informasi yang masuk dan keluar di dalam benak termasuk persepsi (negatif/positif), perhatian, bahasa, ingatan, proses penalaran dan kesadaran.
Prasangka buruk hadir untuk meningkatkan citra diri dari seorang individual atau kelompok.
Individu atau kelompok yang memandang rendah kelompok lain secara emosional akan menghasilkan prasangka bahwa ia lebih baik dari orang atau kelompok lain.
Ketika suatu individu atau kelompok merasa jauh lebih baik dari kelompok yang lain maka secara alamiah ia akan memiliki persepsi bahwa ia berhak untuk memimpin atau mendominasi orang atau kelompok lain.
Prasangka bisa hadir pada pola pikir manusia karena proses ini tidak melibatkan proses pemikiran yang kompleks. Otak manusia secara alami juga menghindari proses kognitif yang kompleks.
Prasangka hadir secara cepat dan efisien dalam dalam proses kognitif manusia. Prasangka membentuk keseragaman informasi dalam penalaran manusia yang kemudian dikenal dengan stereotip.
Stereotip yang sudah terbentuk lama membuat seseorang tidak melakukan proses berpikir panjang, hati-hati, atau sistematis. Bekal “pengetahuan” yang diperoleh sedari kecil menjadi jalan pintas individu dalam memberikan label pada orang lain.
Alice Eagly dan Amanda Diekman - pakar psikologi dari Amerika Serikat - menjelaskan konsep prasangka yang lebih mudah dipahami.
Menurut mereka, prasangka merupakan sikap yang sangat kontekstual. Konteks yang dimaksud adalah kesesuaian antara stereotip dan harapan peran sosial dari objek sosial tertentu. Jika ditemukan ketidaksesuaian, maka muncullah sikap negatif, atau diskriminasi.
Jadi, secara teoritis, tindakan diskriminatif adalah hasil dari stereotip yang sudah terbentuk sejak lama. Stereotip terbentuk dalam proses pembentukan karakter dari individu sejak kecil dan kemudian melekat secara alamiah di bawah otak tidak sadarnya.
Rasisme terbuka dan terstruktur bisa dilihat dari kebijakan apartheid di Afrika Selatan pada 1948 yang secara terbuka memisahkan kedudukan dan hak orang kulit hitam dan kulit putih.
Bahkan rasisme terbuka bisa muncul di antara masyarakat kulit hitam. Peristiwa pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda menunjukkan etnosentrisme budaya bisa menjadi akar dari perang antarsuku.
Seiring dengan perkembangan zaman dan pengetahuan, bibit dari rasisme terbuka sejak zaman kolonialisme terus tergerus dan berubah bentuk menjadi rasisme yang tertutup.
Prasangka bisa terbentuk secara timbal balik, baik itu bagi yang merasa superior maupun inferior.
Dalam kasus rasisme perbedaan warna kulit, individu kulit putih bisa melakukan tindakan rasisme terhadap kulit hitam dan begitu pun sebaliknya, bergantung pada kondisi ketika kejadian tersebut berlangsung.
Misalnya, perilaku rasisme terhadap masyarakat Papua di Pulau Jawa yang didominasi oleh kelompok masyarakat Jawa dengan mudah terjadi. Rasa superioritas sangat mudah terbentuk secara alami. Rasa superioritas yang didukung oleh kekuatan kelembagaan politik dan kemasyarakatan menghasilkan rasisme yang sangat kuat.
Begitu pun sebaliknya. Di Pulau Papua, ketika masyarakat Papua menjadi kelompok dominan, maka mudah terjadi rasisme terhadap masyarakat minoritas di sana.
Kerusuhan Manokwari pada Agustus tahun lalu yang menelan korban dari warga “pendatang/non-Papua” adalah salah satu contoh produk dari rasisme masyarakat yang merasa diminoritaskan oleh kelompok masyarakat mayoritas.
Tindakan rasisme baik itu di kasus mahasiswa Papua di Surabaya dan kerusuhan Manokwari dikategorikan dalam bentuk rasisme terbuka atau overt).
Rasisme terbuka melibatkan interaksi antar-individu dan kelompok menggunakan tindakan kekerasan baik psikologis maupun fisik.
Rasisme yang tertutup atau covert adalah rasisme yang terlembaga, bisa berupa dalam bentuk kebijakan, norma yang berkembang (misalnya stereotip masyarakat tertentu adalah pemalas), atau sistem dalam kelembagaan negara dan masyarakat yang tidak adil dan seimbang.
Rasisme yang terlembaga muncul dari pola pikir masyarakat yang secara tidak sadar dipengaruhi oleh ide dan norma-norma yang mereka pahami; bentuk dari rasisme tersebut kemudian bisa termaktub dalam sistem yang mereka buat.
Misalnya, orang yang sedari kecil percaya bahwa kulit putih itu cantik, maka ketika dewasa, ia akan mendukung segala hal yang berhubungan dengan persepsi tersebut.
Rasisme tertutup diduga hadir dalam skala jauh lebih besar dari rasisme terbuka karena lebih susah untuk dideteksi.
Dalam tatanan norma masyarakat Indonesia, rasisme tertutup misalnya terekspesikan dalam bentuk anggapan bahwa laki-laki dari suku A tidak boleh menikah perempuan dengan suku B karena faktor tabu.
Memerangi rasisme tertutup jauh lebih sulit karena sudah melembaga dalam norma dan pola pikir masyarakat.
Baca Juga: Mengenang Joe Brown, Pendaki Legendaris yang Wariskan Jalur Pendakian
Upaya mengatasi masalah ini membutuhkan perubahan cara pandang lewat pengasuhan dan pendidikan sejak dini untuk menanamkan kesetaraan antar ras dan suku.
Membangun kepercayaan diri dan menanamkan rasa kesetaraan di bawah payung kemanusiaan adalah hal terpenting untuk dilakukan, namun proses butuh waktu yang lama. Negara punya tanggung jawab besar untuk mengimplementasikan kebijakan anti-diskriminasi.
Selain itu, negara seharusnya membangun institusi dan penegak hukum yang menjamin kesetaraan hak dan perlakuan adil yang diikuti dengan penerapan hukum yang tegas. Negara juga harus memberikan layanan kepada rakyatnya tanpa diskriminasi.
Penulis: Asmiati Malik, Adjunct assistant professor, Universitas Bakrie dan Andi Muthia Sari Handayani, Dosen Psikologi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR