Nationalgeographic.co.id - Berdasarkan studi terbaru yang dilakukan Unilever Indonesia, bekerjasama dengan Sustainable Waste Indonesia (SWI) dan Indonesian Plastics Recyclers (IPR), diketahui bahwa saat ini baru sekitar 11,83% sampah plastik di area perkotaan Pulau Jawa yang berhasil dikumpulkan dan didaur ulang. Sisanya sebanyak 88,17% masih diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau bahkan berserakan di lingkungan.
Dari 11,83% sampah plastik yang dikumpulkan, 9,78% berasal dari pemulung, 1,78% dari TPS3R/TPST dan hanya 0,26% berasal dari Bank Sampah. Padahal, Bank Sampah diketahui sangat berperan dalam proses daur ulang.
Baca Juga: Membicarakan Masalah Sampah Plastik, Semangat Kolaborasi Menuju Kehidupan Lestari
Saharuddin Ridwan, Ketua Umum Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI), mengatakan bahwa Bank Sampah memiliki peluang besar untuk menangani masalah sampah plastik di Indonesia. Ia mengatakan, Bank Sampah merupakan contoh nyata dari gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang dicantumkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13 Tahun 2012.
“Tujuan pemerintah untuk mengurangi sampah pada 2025 itu bisa dimulai dari Bank Sampah,” papar Saharuddin, pada sesi #BerbagiCerita: Semangat Kolaborasi Menuju Kehidupan Lestari, Rabu (19/8/2020).
Agar tujuan tersebut tercapai, menurut Saharuddin, perlu ada kolaborasi dari pihak yang terlibat dalam Bank Sampah, mulai dari masyarakatnya sendiri yang mulai memilah sampah dari rumah, pemerintah, juga industri. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan revolusi digital yang memudahkan pihak terkait untuk saling bekerjasama.
“Jika bicara tentang digitalisasi, kepentingannya adalah pendataan Bank Sampah secara nasional. Ini berkaitan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menjadi nasabah karena mereka perlu mengetahui titik-titik Bank Sampah yang ada. Juga mempermudah transaksi dan pemasaran hasil Bank Sampah,” jelas Saharuddin.
Mewakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Ari Sugasri, Kasubdit Sampah Spesifik dan Daur Ulang KLHK, mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini sedang menyusun sebuah situs atau database yang memungkinkan kita mengetahui seberapa banyak Bank Sampah yang ada di Indonesia dan bagaimana itu mampu mengurangi jumlah sampah yang ada.
“Digitalisasi Bank Sampah sangat dibutuhkan karena dengan pemetaan yang lebih jelas, proses daur ulang juga bisa lebih cepat dilakukan,” katanya.
Ari memaparkan, pada desember 2019, Bank Sampah berjumlah 8.434—terdiri dari Bank Sampah pusat, unit, induk dan sektor. Namun, pada Juni 2020, jumlahnya bertambah hingga 11 ribu dengan nasabah hampir 299 ribu orang—menunjukkan perkembangan pesat dalam waktu singkat.
Omset yang dihasilkan pun bisa mencapai hampir 45 miliar per tahun, sehingga menurut Ari, ekonomi sirkular berjalan pada proses ini.
“Saya senang kalau misalnya peran-peran yang terkait semuanya bergerak karena hasilnya terlihat. Mungkin kita bisa menyelesaikan masalah sampah lokal, terutama untuk kertas dan plastik,” ungkapnya.
Dari sisi industri, Unilever Indonesia juga berkomitmen untuk mengembangkan dan memberdayakan Bank Sampah di Indonesia. Percaya akan potensi dan manfaat Bank Sampah yang begitu besar, sejak 2008 Unilever Indonesia Foundation mulai mengenalkan program Bank Sampah berbasis komunitas. Hingga saat ini Unilever telah mendukung lebih dari 3.800 unit bank sampah dan telah mengurangi hampir sebanyak 12.500 ton sampah non-organik di tahun 2019.
Senada dengan yang dilakukan pemerintah, untuk semakin mengembangkan Bank Sampah, Unilever Indonesia juga mengedepankan digitalisasi. Maya Tamimi, Head of Sustainability & Environment Unilever Indonesia, mengatakan bahwa mereka telah berkolaborasi dengan Google My Bussiness agar calon nasabah dapat menemukan Bank Sampah di sekitarnya dengan lebih mudah.
Saat ini, hampir 300 Bank Sampah binaan Unilever Indonesia telah tergabung dalam aplikasi digital sehingga informasi keberadaan Bank Sampah dapat diakses oleh masyarakat luas dan meningkatkan minat dan partisipasi masyarakat terhadap program Bank Sampah.
“Kami berusaha melibatkan masyarakat agar mau berpartisipasi dalam proses daur ulang sampah, menyemangati mereka supaya memilah sampahnya sendiri di rumah. Dengan adanya digitalisasi ini, kami juga meningkatkan visibility dari Bank Sampah agar bisa menggaet lebih banyak nasabah sehingga kami bisa membantu meningkatkan laju daur ulang sampah plastik,” papar Maya.
Untuk mengetahui Bank Sampah terdekat dari rumah, Anda bisa langsung melihatnya melalui situs unilever.co.id atau melalui Google Maps. Anda akan menemukan beberapa Bank Sampah yang sudah terdaftar dalam Google My Bussiness.
“Kalau misalkan udah memilah sampah, tapi bingung mau dibawa ke mana atau takut tercampur lagi jika diberikan ke tukang sampah, silakan dibawa ke unit Bank Sampah terdekat yang sudah tercantum di situs Unilever atau Google Maps,” imbuh Maya.
Baca Juga: Pengelolaan Sampah di Indonesia Masih Buruk, Perlu Kolaborasi dan Revolusi
Manfaat digitalisasi Bank Sampah ini diakui oleh Dila Hadju, ibu rumah tangga sekaligus founder Tumbuh Hijau Urban. Dila yang dalam kesehariannya sudah memilah sampah dari organik kertas, anorganik plastik, anorganik beling dan alumnium, dulu sering kesulitan untuk menemukan Bank Sampah. Ia perlu bertanya ke banyak orang di sekitar rumahnya atau mengunjungi lokasinya satu per satu untuk memastikan. Namun kini, dengan digitalisasi, ia bisa mengecek lokasi dan mengetahui informasinya hanya melalui internet.
“Dengan adanya peta lokasi Bank Sampah ini bisa langsung ke sana, jadi sangat terbantu. Selalin itu, terkadang tidak hanya sekadar menyerahkan sampah, kita juga dihubungkan dengan komunitas atau program ramah lingkungan lainnya,” kata Dila.
Ini sangat sesuai dengan misi keberlanjutan yang diterapkan Dila. Ia menggarisbawahi keberlanjutan yang meliputi tiga aspek: lingkungan, sosial budaya masyarakat dan ekonomi. Meski Bank Sampah masih perlu peningkatan, tapi menurutnya, itu sangat berperan dalam piramida keberlanjutan tadi.
“Dengan memilah sampah dan mengirimnya ke Bank Sampah, artinya kita sudah memperhatikan lingkungan kita. Ketika kita sudah peduli dengan kondisi lingkungan dan berusaha memperbaikinya, maka itu akan mendukung masyarakat yang sehat. Dan masyarakat yang sehat pada akhirnya akan memperbaiki ekonomi,” pungkas Dila.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR