Laila, seorang transpuan berusia 27 tahun, bekerja di sektor informal. Selama tiga tahun dia hidup tanpa KTP, sehingga menghambat akses layanan terkait kesehatan. Kini kasusnya difasilitasi oleh Yayasan Pelita Tangsel.
Nationalgeographic.co.id—Pagebluk membuat kita rentan. Salah satu kelompok warga yang rapuh sejak berjangkitnya pagebluk ini adalah kaum transpuan. Mereka selalu hidup bersama stigma. Bagaimana nasib para transpuan menghadapi tantangan di tengah pagebluk?
Kami pernah menyajikan kisah tentang transpuan bertajuk “Waria Setara Warga”. Kisah itu terbit di National Geographic Indonesia Edisi Khusus Ekspresi Gender, Januari 2017. Penulis dan fotografernya adalah Rachma Safitri Yogasari.
Pada akhir Maret silam, Safitri menghubungi saya. Dia berkeluh kesah tentang nasib kaum transpuan sejak berjangkitnya pagebluk COVID-19 di Yogyakarta. Dia bersama Ayu Diasti Rahmawati membuat rilis eletronik Urunan untuk Ponpes Waria Al Fatah pada awal pagebluk silam. Pondok pesantren itu asuhan Ibu Shinta Ratri, transpuan yang mendapat penghargaan sebagai pembela Hak Asasi manusia dari Front Line Defenders yang berbasis di Irlandia.
“Pondok pesantren akan menjadi rumah sementara bagi kawan-kawan waria yang tidak bisa bekerja,” ungkap mereka. “Tapi kami optimis, angka itu bisa mengecil jika disangga bareng-bareng.”
Mama Dona bertumpu pada lutut Mami Yuli. Yuli adalah pemimpin Forum Waria Indonesia, yang memperjuangkan hak-hak transpuan di masyarakat. Foto oleh Yoppy Pieter
Kendati transpuan telah lama menjadi bagian dari warga multikultural Indonesia, kaum ini selalu terpinggirkan. Mereka menghadapi diskriminasi yang meluas lantaran ekspresi gendernya. Pada edisi ini, Yoppy Pieter mendokumentasikan bagaimana perjuangan mereka untuk tetap hidup selama pagebluk. Ketertarikanya terhadap isu identitas mengantarkan dia untuk mendapatkan dana hibah COVID-19 Emergency Fund for Journalist dari National Geographic Society.
Dia menyusuri Jakarta, Depok, dan Tengerang Selatan untuk bertemu komunitas transpuan yang menghadapi tantangan sosial, kesehatan, dan ekonomi di tengah pagebluk. “Merekam kehidupan mereka melalui kamera dan pena menyadarkan saya tentang bagaimana kita memaknai hidup. Tidak jarang saya harus menahan air mata. Belum usai permasalah mereka dengan diskriminasi, kini mereka dipaksa melanjutkan hidup tanpa pilihan.”
Semenjak pagebluk, ditengarai ada peningkatan angka kemiskinan karena hilangnya pekerjaan. Sementara itu para transpuan menyandang stigma dan diskriminasi yang membuat mereka kian rapuh. Sejauh ini mereka belum tersentuh mekanisme bantuan sosial dari pemerintah—baik karena alasan adminsitrasi maupun diskriminasi. Ironisnya, saat pemilihan umum, aparat setempat mewajibkan mereka untuk menyumbangkan suaranya.
Yoppy berkata bahwa transpuan yang eksistensinya jauh sebelum negara ini lahir telah kehilangan tempat berlindung. Kemudian dia melanjutkan, “Menjadi ‘liyan’ di negara ini bukanlah hal yang mudah.”
Simak Bincang Redaksi-18 yang menampilkan Cerita Sampul dan Selidik Edisi September 2020, bertajuk Transpuan: Warna dan Suara yang Terpinggirkan.
Sabtu, 5 September 2020 pukul 15.00-16.30 WIB bersama: Yoppy Pieter, Penulis dan Fotografer "Transpuan: Warna dan Suara yang Terpinggirkan"; Rachma Safitri Yogasari, Penulis dan Fotografer "Waria Setara Warga"; dan Ayu Diasti Rahmawati, Dosen FISIPOL-UGM dan Peneliti Dampak Pandemi terhadap Kelompok yang Termarjinalkan. Tuan Rumah Bincang Redaksi: Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia.
Bincang Redaksi kali ini juga akan dihadiri oleh Mami Yuli, Ketua Forum Waria Indonesia, yang kini sedang menyelesaikan pendidikan S-3 di Jakarta; dan Ibu Shinta Ratri, pengasuh Ponpes Waria Al Fatah di Yogyakarta.
KOMENTAR