Nationalgeographic.co.id – Danau Poso merupakan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Di sana, kita bisa menemukan banyak hewan endemik. Mulai dari ikan, udang, siput, hingga kepiting.
Dalam Bincang Redaksi 12: Pusparagam Kehidupan dan Peradaban Silam Danau Poso, Kurniawan Bandjolu, peneliti dari Institut Mosintuwu, menjelaskan beberapa flora dan fauna endemik yang ditemukan di danau tektonik tersebut saat melakukan Ekspedisi Poso. Agar lebih jelas dan mudah dipahami, Kurniawan membaginya sesuai dengan area danau.
Kompo Dongi
Kompo Dongi merupakan zona transisi antara perairan dan daratan. Zona ini akan terisi air pada musim hujan, tapi pada musim kemarau jumlah airnya akan mengalami penurunan drastis.
“Pada wilayah ini, kami menemukan tiga jenis hewan endemik. Satunya ikan dan duanya siput,” ungkap Kurniawan. Itu adalah Oryzias nigrimas, Tylomelania porcellanica, dan Celetaia persclupta.
Ia menambahkan, zona transisi ini berperan penting pada pelestarian biota perairan yang ada di Danau Poso. Saat musim hujan, di Kompo Dongi banyak ditemukan ikan karena mereka akan mencari makan di sana sesuai instingnya.
Watu mPangasa Angga
Watu mPangasa Angga terletak tepat di ujung utara Danau Poso. Ada tiga jenis biota perairan endemik di sini—dua udang dan satu siput (Caridina caerulea, Caridina ensifera, Tylomelania kuli).
“Udang-udang ini dikonsumsi sebagai makanan dan umpan memancing. Siput juga dimakan karena menurut warga setempat, rasanya sangat gurih,” jelas Kurniawan.
Koro nTokilo
Mirip seperti Kompo Dongi, Koro nTokilo juga merupakan zona transisi. Oleh sebab itu, ketika musim hujan, fluktuasi muka air akan naik—menghubungkan zona transisi dengan danau. Pada saat itu, ikan-ikan yang ada di danau akan ‘mengunjungi’ Koro nTokilo, bertelur dan menetas.
Di Koro nTokilo, Kurniawan dan timnya menemukan satu udang endemik Caridina sarasinorum yang sangat digemari oleh para pecinta udang hias di Eropa maupun Amerika.
Taman Wisata Alam Bancea
Memiliki struktur batuan kerikil dan berwarna kuning, membuat Taman Wisata Alam Bancea sangat unik sehingga bagian danau ini berbeda dengan area lainnya. Kurniawan memaparkan, ada tiga jenis biota yang ditemukan, yaitu kepiting, ikan rono, dan siput (Parathelphusa possoensis, Adrianichthys sp. Tylomelania sp).
Sungai Saluopa
Sungai ini berada di bawah air terjun Saluopa, sekitar 100 meter. Ditemukan ikan Nomorhamphus celebensis di sini.
“Ikan tersebut kerap menjadi parameter bahwa keadaan sungai atau perairan masih terjaga atau bersih. Sebab, Nomorhamphus celebensis sangat rentan dengan perubahan kondisi perairan, baik secara kimiawi maupun biologis,” papar Kurniawan.
Menurut Kurniawan, ada beberapa masalah yang kerap mengancam hewan endemik di Danau Poso. Yang pertama adalah zona transisi yang berubah fungski akibat ditanggul. Ini dapat menghalangi siklus transisi musim hujan dan musim kemarau.
Selain itu, sama seperti danau lainnya, di Danau Poso juga terdapat ikan introduksi—yakni ikan yang baik sengaja atau tidak sengaja masuk ke kawasan danau. Spesies tersebut akhirnya menjadi invasif dan populasinya jadi lebih banyak dibanding hewan endemik danau Poso.
“Contohnya adalah niasa (Melanochromis auratus) yang diintroduksi dari Danau Malawi di Afrika. Sekarang jumlahnya sangat dominan dan melebihi spesies asli Danau Poso,” jelas Kurniawan.
Spesies darat
Selain binatang perairan, di sekitar Danau Poso juga terdapat biota endemik lainnya. Ada kuskus (Ailurops ursinus), burung alo (Rhticeros cassidix), serta babi hutan.
Sayangnya, akhir-akhir ini, kuskus sering dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. BKSDA Sulawesi Tengah sendiri agak kerepotan menangani masalah ini.
Begitu pula babi hutan yang kerap diburu masyarakat dan diangap hama. Padahal, sebenarnya babi hutan ini bukan hama, tapi manusia lah yang sudah menginvasi wilayah hutan dan mengganggu habitat mereka,
Sementara itu, tumbuh-tumbuhan di sekitar Danau Poso meliputi jongi (Dillenia Celebica), kayu hitam, lauto (Calamus zollingeri), dan kacang hutan (Macadamia hidebrandii). Tanaman-tanaman tersebut juga kini terancam akibat deforestasi demi pembukaan lahan untuk permukiman.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR