Saat dicitrakan dengan resolusi tinggi, gigi menampilkan susunan garis tiga dimensi yang kompleks, yakni garis pertumbuhan harian serta periode yang lebih panjang seperti lingkaran batang pohon, beserta garis stres yang menjadi petunjuk saat-saat penting dalam sejarah hidup seseorang. Trauma kelahiran mengguratkan garis stres neonatal yang tajam pada enamel; saat penyapihan dan saat-saat kekurangan gizi atau tekanan lingkungan yang lain juga meninggalkan tanda nan jelas pada gigi yang tumbuh. “Gigi menyimpan rekaman permanen dan terus-menerus tentang pertumbuhan, mulai dari sebelum lahir hingga mereka berhenti tumbuh pada akhir masa remaja,” kata Smith menerangkan. Manusia lebih lambat mencapai pubertas dibanding simpanse, kerabat terdekat kita yang masih hidup—yang berarti lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk belajar dan berkembang dalam konteks kelompok sosial. Spesies manusia awal yang hidup di sabana Afrika jutaan tahun lalu tumbuh dewasa dengan cepat, lebih mirip simpanse. Jadi, kapan pola modern yang lebih lambat ini mulai terjadi dalam evolusi?
!break!
Untuk menjawab pertanyaan ini, Smith, Tafforeau, dan rekan-rekan pernah menggunakan sinkrotron untuk menunjukkan bahwa anak manusia modern masa awal dari situs yang disebut Jebel Irhoud di Maroko (berusia sekitar 160.000 tahun lalu) memperlihatkan pola sejarah hidup manusia modern. Sebaliknya, “lingkaran pertumbuhan” pada gigi Neandertal muda yang berusia 100.000 tahun yang ditemukan di gua Scladinam, Belgia, menandakan bahwa bocah itu berusia delapan tahun saat meninggal dan terlihat akan mencapai usia pubertas beberapa tahun lebih awal daripada rata-rata manusia modern. Sementara itu, tim peneliti lainnya, yang menggunakan satu gigi Neandertal, tidak menemukan perbedaan seperti itu antara pola pertumbuhan Neandertal dan manusia sekarang. Namun, kendatipun analisis lengkap dari “konvensi tulang rahang” masih belum selesai, hasil pendahuluannya, ujar Smith “sesuai dengan yang kami lihat di Scladina.”
“Pubertas yang lebih awal pasti akan berpengaruh pada kelompok sosial, strategi perkawinan, serta perilaku pengasuhan anak pada manusia Neandertal,” ujar Hublin. “Bayangkan sebuah masyarakat di mana anggota-anggotanya mulai bereproduksi empat tahun lebih awal daripada manusia modern. Itu merupakan masyarakat yang sangat berbeda. Itu juga bisa berarti bahwa kemampuan kognitif Neandertal mungkin berbeda dengan manusia modern.”
Masyarakat Neandertal mungkin juga berbeda dalam hal lain, hal yang penting bagi kelangsungan hidup kelompok: hal yang disebut arkeolog sebagai penyangga budaya. Penyangga adalah sesuatu dalam perilaku kelompok—teknologi, bentuk organisasi masyarakat, atau tradisi budaya—yang memperbaiki kans mereka sebagai penyintas. Ini ibarat menyimpan sejumlah kecil beras di dalam gentong, sehingga tak kelaparan dan berutang di masa paceklik . Sebagai contoh, Mary Stiner dan Steven Kuhn dari University of Arizona berpendapat bahwa manusia modern awal muncul dari Afrika dengan penyangga berupa cara berburu dan mengumpulkan makanan yang lebih efisien secara ekonomi, sehingga menghasilkan pangan yang lebih beragam. Saat kaum lelaki memburu binatang besar, perempuan dan anak-anak mengais makanan berupa tanaman dan binatang kecil. Stiner dan Kuhn yakin bahwa Neandertal tidak memiliki pembagian kerja setegas itu. Dari Israel selatan hingga Jerman utara, bukti arkeologi menunjukkan bahwa Neandertal sangat tergantung pada berburu mamalia berukuran sedang hingga besar seperti kuda, rusa, bison, dan sapi liar. Tak diragukan lagi mereka juga memakan sayur-sayuran dan bahkan kerang-kerangan di dekat Laut Tengah. Namun, bagi Stiner dan Kuhn, ketiadaan batu giling atau bukti lain tentang pemerosesan makanan dari tumbuhan menandakan bahwa sayuran adalah makanan pelengkap bagi Neandertal, “kurang lebih seperti salad, kudapan, dan makanan penutup, bukan makanan pokok yang kaya energi.”
Tuntutan kalori tubuh yang terus-menerus, terutama di daerah lintang yang lebih tinggi dan selama masa-masa yang lebih dingin, kemungkinan memaksa perempuan dan anak-anak Neandertal ikut berburu—“pekerjaan yang keras dan berbahaya,” tulis Stiner dan Kuhn, berdasarkan pada banyaknya bekas patahan tulang yang terlihat di tangan dan tengkorak Neandertal. Kelompok-kelompok manusia modern yang tiba ke lokasi itu menjelang akhir masa Neandertal memiliki pilihan lain.
!break!
“Dengan mendiversifikasi makanan dan memiliki personel [yang mengerjakan tugas-tugas yang berbeda], mereka punya formula dalam membagi risiko dan itu akhirnya merupakan kabar baik bagi perempuan hamil dan anak-anak,” tutur Stiner kepada saya. “Jadi, jika satu hal gagal, masih ada yang lain.” Perempuan Neandertal tentu kuat dan tangguh. Namun tanpa penyangga budaya seperti itu, dia dan anak-anaknya tidak dalam posisi yang menguntungkan.
Dari semua kemungkinan penyangga budaya, barangkali yang paling penting adalah masyarakat itu sendiri. Menurut Erik Trinkaus, unit sosial Neandertal kira-kira seukuran keluarga luas. Namun, pada situs manusia modern awal di Eropa, ujar Trinkaus, “kita mulai menemukan situs-situs yang menggambarkan populasi yang lebih besar.” Tinggal bersama kelompok yang lebih besar saja memiliki dampak sosial dan biologis. Kelompok yang lebih besar tentu menuntut interaksi sosial yang lebih banyak, yang merangsang otak agar lebih banyak beraktivitas selama masa kanak-kanak dan remaja, menciptakan tekanan untuk mempercanggih bahasa, dan secara tidak langsung meningkatkan usia hidup rata-rata anggota kelompok. Selanjutnya, usia panjang akan meningkatkan alih pengetahuan antargenerasi dan menciptakan hal yang disebut Chris Stringer “budaya inovasi”—pewarisan keterampilan bertahan hidup dan teknologi pembuatan perkakas dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan kemudian dari satu kelompok ke kelompok lain.
Apapun penyangga budaya yang dimiliki manusia modern, hal itu telah menyediakan pelindung tambahan, biarpun tipis, terhadap tekanan iklim kejam yang menurut pendapat Stringer memuncak pada sekitar masa kepunahan Neandertal. Data inti es menyiratkan bahwa dari sekitar 30.000 tahun lalu hingga zaman es akhir yang paling lama 18.000 tahun lalu, iklim Bumi berfluktuasi dengan liar, terkadang dalam hitungan dasawarsa. Tambahan beberapa orang dalam unit sosial, dengan beberapa tambahan keterampilan, mungkin memberi keuntungan bagi manusia modern di saat kondisi berubah kejam. “Bukan keunggulan yang besar,” ujar Stringer. “Neandertal jelas beradaptasi begitu baik dengan iklim yang lebih dingin. Namun, menghadapi sekaligus gabungan perubahan iklim ekstrem dan persaingan dengan manusia modern, saya rasa hal itulah yang menyebabkan perbedaan.”
Yang tertinggal kini adalah pertanyaan terakhir yang sensitif—dan sebagaimana sering dikatakan Jean-Jacques Hublin, tabu secara politis—yang telah mengusik pengkajian Neandertal sejak teori Dari Afrika (Out of Africa) diterima masyarakat luas: Apakah pergantian dengan manusia modern berlangsung perlahan dan damai, semacam kerukunan ala Pleistosen, ataukah terjadi secara relatif cepat dan bermusuhan?
!break!
“Sebagian besar Neandertal dan manusia modern mungkin menghabiskan sebagian besar usia mereka tanpa pernah bertemu,” ujarnya dengan kata-kata yang dipilih secara hati-hati.
“Saya membayangkan, terkadang di kawasan-kawasan perbatasan ini, beberapa orang-orang ini saling melihat dari kejauhan… tapi saya kira yang paling mungkin terjadi adalah mereka saling usir dari lokasi itu. Bukan hanya menghindari, tapi mengusir. Kita tahu dari penelitian baru-baru ini tentang kaum pemburu-pengumpul, bahwa mereka tidaklah sedamai yang dikira masyarakat umum.”
“Terkadang saya mematikan lampu dan membayangkan kehidupan yang mereka jalani.”
Ahli biologi evolusioner Clive Finlayson dari Gibraltar Museum berdiri di lorong masuk Gua Gorham, sebuah tabernakel batu kapur yang mengagumkan yang membuka ke laut di Batu Gibraltar. Di dalamnya, flowstone nan elok menggantung dari langit-langit ruangan yang besar. Stratigrafi atau susunan lapisan bebatuan di dalam gua ini diselingi bukti-bukti kehadiran Neandertal dari 125.000 tahun lalu, termasuk mata tombak dan pengerik batu, buah pinus yang terbakar, dan sisa-sisa sejumlah tungku purba. Dua tahun lalu, Finlayson dan rekan-rekannya menggunakan penanggalan karbon untuk menentukan bahwa beberapa di antara perapian itu baru padam pada 28.000 tahun lalu—jejak terakhir Neandertal yang diketahui di Bumi ini (Beberapa perapian lainnya di gua itu mungkin baru berusia 24.000 tahun, tetapi penanggalan tersebut kontroversial).
Dari fosil serbuk sari dan binatang, Finlayson telah merekonstruksi lingkungan hidup di sana seperti pada 50.000 hingga 30.000 tahun lalu. Saat itu, paparan pesisir dangkal yang sempit mengelilingi Gibraltar, Laut Tengah berjarak tiga hingga empat kilometer dengan lanskapnya dipenuhi sabana berbelukar yang beraroma rusmarin dan serpili, bukit pasirnya yang bergelombang sesekali diselingi oleh pohon mempening dan tusam batu, sementara asparagus liar tumbuh di dataran pesisir. Burung nasar prasejarah, beberapa memiliki bentang sayap tiga meter, bersarang tinggi di tebing, memindai bukit pasir untuk mencari mangsa. Finlayson membayangkan Neandertal mengawasi burung-burung itu berputar dan turun, lalu berpacu dengan unggas-unggas itu untuk berebut buruan. Makanan mereka jelas lebih beragam daripada Neandertal umumnya yang bergantung pada satwa buruan darat. Tim peneliti Finlayson menemukan tulang kelinci, cangkang kura-kura, dan kupang di dalam gua, di samping tulang lumba-lumba dan kerangka anjing laut yang memiliki tanda-tanda dipotong. “Kecuali nasinya, kita hampir menemukan menu paella ala Mousteria!” gurau Finlayson.
Namun, kemudian keadaan berubah. Saat sentuhan Zaman Es terdingin akhirnya mencapai Iberia selatan melalui serangkaian fluktuasi mendadak antara 30.000 hingga 23.000 tahun lalu, lanskapnya berubah menjadi stepa semiarid. Di medan yang lebih terbuka ini, manusia modern tinggi langsing yang pindah ke kawasan ini dengan membawa lembing lempar, barangkali lebih diuntungkan dibanding Neandertal yang pendek kekar. Namun, Finlayson berpendapat bahwa kedatangan manusia modern tidaklah sebesar perubahan iklim yang dramatis dalam mendorong Neandertal Iberia ke jurang kepunahan. “Periode dingin yang hebat selama tiga tahun, atau tanah longsor, sudah bisa menjadi penyebab kepunahan saat mereka tinggal bersepuluh orang,” ujarnya. “Begitu mencapai jumlah tertentu, mereka menjadi mayat hidup.”
!berak!
Inti yang lebih luas: kematian Neandertal mungkin bukanlah cerita novel paleoantropologi yang panjang, tetapi padu; alih-alih, hal itu lebih mirip kumpulan cerita pendek tentang kepunahan yang saling berkaitan, tetapi unik. “Mengapa Neandertal menghilang di Mongolia?” tanya Stringer. “Mengapa mereka menghilang di Israel? Mengapa mereka menghilang di Italia, di Gibraltar, di Inggris? Jawabannya bisa berlainan untuk tempat yang berbeda karena kemungkinan hal itu terjadi pada waktu yang berbeda-beda. Jadi, kita membicarakan kawasan yang luas, serta hilangnya dan kemunduran di waktu yang berbeda-beda dengan kantong-kantong Neandertal yang pasti bertahan hidup di tempat berbeda-beda pada waktu berbeda-beda pula. Gibraltar sudah pasti merupakan salah satu pos depan terakhir mereka. Bisa saja itu yang terakhir, tapi kita tidak tahu pasti.”
Apa pun yang terjadi, akhir semua cerita tersebut ditutup di Gua Gorham. Di kedalaman lubang gua, tak jauh dari perapian Neandertal, tim Finlayson baru-baru ini menemukan beberapa cetakan tangan berwarna merah di dinding, tanda bahwa manusia modern telah tiba di Gibraltar. Analisis pendahuluan atas pigmen itu bertahun antara 20.300 dan 19.500 tahun lalu. “Mereka seolah-olah mengatakan, Hei, sekarang ini adalah dunia baru, Bung,” kata Finlayson.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR