Nationalgeographic.co.id –Ribuan pohon mangrove dan cemara laut tumbuh subur di pesisir utara Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Sepanjang dua kilometer area pesisir yang dulunya adalah lahan tambak tersebut menjadi oase di kala terik.
Setiap harinya, ratusan pejalan datang mengunjungi desa tersebut. Pasalnya, desa tersebut kini menjadi destinasi ekowisata. Pejalan datang untuk mengunjungi Taman Pendidikan Mangrove dan Taman Wisata Laut Labuhan.
Tak banyak pejalan yang tahu, kedua tempat ini dahulu tidaklah seindah sekarang. Empat tahun lalu Desa Labuhan gersang.
Menurut Pembina Kelompok Tani Magrove Cemara Sejahtera Muhammad Sahril, dahulu masyarakat Desa Labuhan juga lebih memilih menjadi perantau di negeri orang.
Baca Juga: Menjajal Sisi Lain Raja Ampat, Kepingan Surga di Timur Indonesia
Sebab, di Desa Labuhan tidak ada mata pencaharian lain kecuali tambak. Namun, garis pantai sudah semakin mundur akibat abrasi.
Sumber daya alam yang bisa diolah pun minim dan rata-rata warga berada di garis kemiskinan. Hal tersebut membuat warga desa memilih ke kota lain untuk menguji peruntungan.
Jerih payah dilakukan komunitasnya demi menggerakan masyarakat yang ada di wilayah ini.
"Awalnya kami hanya melakukan penghijauan desa kami yang dulu kritis supaya tidak terjadi abrasi," kata Sahril ketika ditemui oleh tim National Geographic Indonesia, Sabtu (21/11/2020).
Baca Juga: Jelajah Rasa Kopi Jawa Barat yang Mendunia
Tidak adanya perubahan berarti, membuat harapan warga untuk bekerja di desa sempat padam. Beruntung, situasi ini perlahan menemui titik terang ketika ia dan beberapa warga desa diajak mengikuti studi banding oleh Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) ke Mangrove Center Tuban di tahun 2014.
Selama studi banding empat hari di sana, dia dan warga mendapatkan ilmu tentang budidaya dan penyemaian mangrove. Namun, sepulangnya dari Tuban, mereka tidak langsung menerapkan ilmu baru, melainkan melakukan penguatan kelembagaan kelompok didampingi oleh PHE WMO.
"Setelah itu baru kami lakukan penanaman dan pembibitan," ujarnya.
Melalui bantuan PHE WMO, bibit-bibit mangrove didatangkan dari Mangrove Center Tuban untuk dilakukan proses pembibitan mandiri. Tak kurang 10 ribu bibit mangrove dan cemara laut di tanam di area seluas 30 hektare yang ada di desa.
Baca Juga: Pertempuran Megiddo, Metode dan Teknologi Pertama dalam Sejarah Perang
Bibit mangrove dan cemara laut yang ditanam antara lain berjenis Sonneratia alba (Prapat), Rizhophora stylosa, Stenggi, Rhizopora apiculata, Rhizophora mucronata, Ceriops tagal, Avicenna marina, dan Cemara casuarina.
Setelah hasil penghijauan berhasil, Sahril dan warga setempat memiliki ide untuk menjadikan desanya sebagai destinasi wisata. Atas bantuan PHR WMO, infrastruktur jalan menuju desa diperbaiki.
Fasilitas penunjang sebagaimana layaknya tempat wisata juga dibangun, seperti jalur trekking, saung, dan aula. Menggabungkan konsep konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Upaya lain yang dilakukan PHE WMO rupanya tak berhenti di situ. Kondisi terumbu karang yang rusak di pesisir pantai desa, membuat PHE WMO tergerak untuk memperbaiki ekosistem laut di sekitar perairan Desa Labuhan pada 2017.
Melalui aksi nyata ini, Desa Labuhan telah berubah menjadi destinasi wisata berbasis edukasi. Masyarakat yang dahulu merantau kini perlahan kembali dan merasakan dampak ekonomi dari adanya kedua tempat wisata tersebut.
Tercatat, sebanyak 918 pengunjung telah mengunjungi kedua taman selama pagebluk di 2020. Kedatangan wisatawan tentu menjadi penopang ekonomi masyarakat Desa Labuhan sekaligus menjadi destinasi wisata berkelanjutan.
Berdayakan taman wisata lainnya
Selain memberdayakan Taman Pendidikan Mangrove dan Taman Wisata Laut, PHE WMO juga menghadirkan program Pengembangan wisata Pantai Pasir Putih Tlangoh yang berada dikawasan Desa Tlangoh, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan.
Sebelumnya, pantai berpasir putih ini merupakan tidak terawat. Keberadaannya hanya dijadikan lokasi penambangan pasir putih liar untuk dijual keluar desa. Alhasil, yang tersisa di pantai ini hanya karang.
Ketua Pokdarwis Desa Tlangoh Dulasir menceritakan awal mula pengembangan pantai ini sebelum menjadi tempat wisata. Menurutnya, PHE WMO dahulu sempat mencoba untuk menanam 2 bibit cemara laut pada 2019, tetapi tidak berhasil. Percobaan yang sama kembali dilakukan dengan menyebar bibit cemara dan mangrove lain namun hasilnya tetap sama.
“Dulu ditanam cemara 2 biji, tapi mati. Tanem lagi agak banyak, sama juga,” kata Dulasir melalui wawancara telepon bersama tim National Geographic Indonesia, Senin (23/11/2020).
Setelah diteliti lebih jauh, situasi pasir dan bebatuan di pantai Tlangoh rupanya terlalu keras dan tidak cocok untuk ditanami mangrove dan cemara dalam jumlah besar, inilah yang membuat lokasinya hanya cocok sebagai pantai lepas biasa.
Tidak menyerah, warga Bersama PHE WMO akhirnya mengubah konsep konservasi mangrove dan cemara menjadi lokasi wisata pantai putih.
Baca Juga: Go Laba, Soliditas Orang-orang Bajawa Membangun Kebersamaan
Pembuatan jalan sebagai akses transportasi, pengembangan lokasi pantai, hingga pendirian Pokdarwis sekaligus pengadaan program wisata, menjadi upaya yang dilakukan PHE WMO. Fasilitas penunjang seperti toilet, ayunan, gapura, payung pantai, dan kafetaria dibangun.
“Di pantai itu dibuatlah jalan, lama kelamaan jadi banyak wisatawan yang datang. Sebelum pagebluk itu 2.000-an orang udah dateng ke sini,” ungkap Darwis.
Agar masyarakat di sekitar juga bisa menerima manfaat dari lokasi wisata pantai, PHE WMO melakukan pendampingan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan pedagang kaki lima (PKL).
Untuk menambah daya pikat, juga terdapat penyewaan ATV dan perahu yang dikelola oleh anggota Pokdarwis dan warga lokal.
Baca Juga: Memata-matai Kawanan Bekantan di Hutan Mangrove Teluk Semanting
Keberadaan lokasi ini juga disyukuri Darwis sebagai suatu anugerah bagi warga sekitar. Mengingat di tengah situasi pagebluk saat ini, cukup banyak warga yang menjadi tenaga kerja migran terpaksa dipulangkan.
“Di sini kan banyak TKI yang kerja di Jepang, nah ada pagebluk semua jadi dipulangin. Untungnya ada pantai ini, warga bisa terus hidup dari jualan di tempat ini. Wisatawan juga masih banyak yang datang,” pungkasnya.
Dikutip dari data yang diberikan Pokdarwis Desa Tlangoh, setidaknya terdapat 9.500 pengunjung yang mendatangi lokasi Pasir Putih dengan total pendapatan tiket masuk dan parkir mencapai lebih dari Rp 40 juta selama periode Juli-September 2020.
Lebih lanjut, seluruh proses yang dilakukan PHE WMO turut berkolaborasi dengan dinas lingkungan hidup serta pemerintah setempat, guna mendukung program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Baca Juga: AKSILARASI 2020: Memberdayakan Ekonomi Kreatif di Labuan Bajo
Kedua program tersebut yakni mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan melalui pengembangan sumber daya yang dimiliki daerah, serta menciptakan lapangan kerja yang layak bagi para penduduknya.
Program SDg selanjutnya yaitu upaya melindungi pantai dan lautan melalui konservasi kawasan pesisir sekaligus mengelola dan menjaga ekosistem laut dari sampah dan limbah.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR