Nationalgeographic.co.id—Sebelum kejatuhannya di tangan Ottoman, Konstantinopel diriwayatkan akan jatuh ketika kaisarnya memiliki nama yang sama dengan nama pendiri kotanya. Kalangan Muslim pun pernah diriwayatkan akan takluknya kota tersebut di tangan mereka, sehingga memicu ambisi kesultanan Ottoman terhadap Bizantium.
Dari sekian banyak usaha Ottoman Turki menguasai kawasan Balkan sebelum menaklukan Bizantium, semua berkat saling perangnya orang-orang Kristen di Eropa, dan wabah hitam yang menyerang Balkan pada 1356.
Meskipun kondisi perencanaan jangka panjang untuk menaklukan Konstantinopel, menurut sejarawan perang Rupert Butler dan timnya, Ottoman Turki harus menunda rencana tersebut karena invasi tak terduga dari Mongol yang dipimpin Timur Lenk.
Baca Juga: Praktik Politik Gelar Keturunan Nabi Muhammad Era Ottoman Turki
Mereka menulis dalam buku Perang yang Mengubah Sejarah, Buku Pertama: dari Pertempuran Megiddo (1457 SM) hingga Bleinheim (1704), ekspedisi tersebut baru berjalan oleh sultan Mehmed II, pasca kematian sultan Murad II pada Februari 1451.
"Dia mempunyai ambisi besar untuk merebut Konstantinopel dan menjadikannya ibu kota Kemaharajaan Ottoman sehingga akan mengangkangi dunia," terang Butler dan timnya.
Setahun setelah kematian ayahnya, Mehmed II merekrut Urbanus, ahli meriam Hongaria, berencana untuk menerobos dinding Konstantinopel. Saat sudah diproduksi pada 1453, meriam tersebut diperiksa di Adrianopel, ibukota Ottoman yang tak jauh dari Konstantionpel.
Baca Juga: Adrianopel, Tonggak Awal Runtuhnya Romawi di Tangan Bangsa Goth
"Larasnya berukuran 8,1 meter panjangnya, memiliki kaliber 20,3 sentimeter, dan diawaki oleh 700 orang, tetapi dapat melontarkan sebuah bola meriam seberat 1 ton sejauh 1,6 km," tulis mereka.
Selain peralatan tempur yang keras, Mehmed II mengumpulkan pasukan besar di Adrianopel yang tercatat atas 80.000 prajurit, 20.000 tentara milisi, dan 20.000 sukarelawan ghazi (mujahidin fanatik).
April hingga Agustus 1452, Mehmet II juga membangun benteng yang disebut Boghaz Kesen (penggorok) dengan puing-puing di dekatnya. Menurut sejarawan kelautan Roger Crowley dalam Constantinople, The Last Great Siege, bahwa benteng tersebut akan mencekik bantuan ke Konstantinopel dan mengakibatkan kota tersebut terkepung.
"Kemampuan Mehmet untuk mengoordinasikan dan menyelesaikan proyek super dengan kecepatan sangat tinggi terus-menerus membuat bingung lawan-lawannya di bulan-bulan mendatang," terang Crowley.
Meskipun sempat ada armada Venesia yang berusaha mendobrak blokade, Maret 1453 justru membuat jalur pertahanan laut Konstantinopel benar-benar terputus. Sebuah armada Ottoman yang dipimpin Suleyman Balthoglu menjegal rute.
Baca Juga: Praktik Politik Gelar Keturunan Nabi Muhammad Era Ottoman Turki
Venesia menyarankan agar kaisar Konstantin XI mencari bantuan dengan negara Kristen lain. Tetapi kaisar memilih berunding dengan Mehmet II, yang berujung penolakan. Maka sepanjang pertempuran tidak ada bantuan untuk Konstantinopel, kecuali dari kepausan dan segelintir dari Venesia.
Butler dan timnya menjelaskan, bahwa Konstantinopel memiliki benteng yang kuat, dan membuat Ottoman harus merencanakan penyerangan dengan matang. Tembok kota terdiri atas tiga garis tembok yang terpisah, tebal, dan sejajar yang dikelilingi parit selebar 18,2 meter yang dapat digenangi saat darurat.
9 April 1453, serangan dimulai dengan menuju dua benteng di bagian barat tembok darat. Namun armada laut Ottoman yang dipimpin Baltoghlu gagal menerobos penghalang selat yang melintang di Tanjung Emas, sehingga kmudian ia dipecat dan armada dipimpin langsung oleh sultan untuk melewatinya lewat daratan.
Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
Meriam yang sudah dipesan kian lama akhirnya dipakai juga oleh Ottoman pada 12 April. Bombardir tersebut diperkuat dengan bom untuk menghancurkan tembok.
"Meriam raksasa Urbanus hanya bisa menembak tujuh kali sehari, begitu rumit dan menghabiskan waktu proses untuk memasukkan peluru dan menembaknya," papar Butler. "Tetapi tembakannya sangat memekakkan telinga dan menimbulkan kerusakan besar terhadap tembok maupun nyali musuh."
Moral Bizantium kembali meningkat selama satu bulan, karena pasukan Ottoman yang gugur ketika sudah menerobos tembok terlemah tanpa menewaskan prajurit Bizantium, dan para ksatria Skotlandia yang menggagalkan usaha Turki yang mencoba menerobos melalui bawah tanah kota.
Selanjutnya mereka justru mendapat kabar buruk dengan datangnya kapal pengintai Venesia pada 24 hingga 25 Mei 1453. Armada tersebut mengabarkan bahwa tak ada lagi bantuan dari Eropa.
Harapan Sultan Mehmed II sempat mulai sirna karena banyaknya prajurit yang gugur. Tercatat, bahwa pasukan yang tersisa 150.000 orang. Bahkan para menteri pun sempat menyarankan untuk mundur apabila rencana serangan besar-besaran 28 Mei gagal.
Butler menulis, keberuntungan datang kepada Ottoman saat serangan besar-besaran itu digencarkan dan meningkatkan kembali harapan sultan dengan ditemukannya gerbang kecil yang ditinggalkan terbuka.
Baca Juga: Busra asy-Syam, Saksi Bisu Kejayaan Tiga Peradaban Besar Dunia
"Para penyerbu tidak membuang-buang waktu untuk memasuki gerbang itu," terangnya. "Orang Bizantium berusaha membendungnya, tetapi gagal karena kalah jumlah."
Setelah berhasil menembus kota, tentara Ottoman langsung membuka gerbang-gerbang lainnya. membuat tentara bantuan dari Genoa kabur ke pelabuhan, dan orang Venesia memilih berkhianat. Sehingga hanya Bizantium bersama orang Catalan yang tetap bertahan hingga tewasnya kaisar Konstantin XI.
Kemenangan di Konstantinopel menjadi puncak kejayaan kesultanan tersebut untuk memotivasi ekspedisi berikutnya. Bahkan atas keberhasilannya, Mehmed II diberi gelar Al-Fatih (sang penakluk).
Jatuhnya Konstantinopel, menurut para sejarawan, menjadi pengantar bangsa Eropa ke masa Renaisans, meski saat itu Turki juga gencar-gencarnya melakukan penyerangan di benua biru.
"Selama tiga abad berikutnya, hingga pengepungan yang sama terkenalnya dan pertempuran di bawah tembok Wina pada 1683, orang Turki tetap menjadi ancaman besar bagi Eropa Kristen," paparnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR