Bahkan pada masa Sriwijaya, orang Buddha Tionghoa aliran Theravada datang ke Nusantara untuk mempelajari agama. Sebab pada masa itu Sriwijaya menjadi kerajaan pendidikan agama Buddha yang tak kalah bagusnya dari India.
Jalur perdagangan sendiri berkembang melalui bandar-bandar yang jadi pusat perdagangan di Tiongkok lewat jalur laut. Bandar itu berada di Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Mizhou, Wenzhou, dan Mingzhou.
"Pada masa Tang (618-907) dan Song (960-1279), Guangzhou merupakan tempat perdagangan internasional terbesar. Di sanalah pertama kali mulai ada bea cukai sejak zaman Tang hingga Ming," jelasnya.
Guangzhou juga cukup maju secara infrastrukturnya dan pemerintah setempat membuat kepengurusan penerjemahan, termasuk bahasa Melayu. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Guangzhou sendiri merupakan kota majemuk yang menjadi akses setiap bangsa bertemu.
Kedatangan agama Islam ke Nusantara pun tak lekang karena peran Tiongkok pada jalur perdagangan ini. Ardian juga menyebutkan bahwa kedatangan Islam di tanah Tiongkok, khususnya di Guangzhou, sezaman dengan masa hidupnya Nabi Muhammad sendiri. Guangzhou merupakan kota perdagangan terbesar di Tiongkok.
"Selanjutnya mereka datang ke Nusantara bareng orang Arab dan Persia yang sudah menetap di Tiongkok," Ardian berpendapat.
Bahkan sosok tokoh terkenal yang memanfaatkan jalur perdagangan untuk penyebaran Islam adalah seorang saudagar yang sekaligus seorang syekh, Siu Te Yo. Di kemudian hari keturunannya menjadi sultan pertama Kesultanan Demak, Raden Patah (Jin Bun).
Baca Juga: Teh Tayu, Warisan Budaya Tionghoa Bangka yang Menggantikan Timah
Di sisi lain, Ardian tak sependapat bila Laksamana Cheng Ho atau Zheng He menyebarkan agama Islam. Ia berpendapat, "Dia datang untuk diplomasi politik, sebab pejabat politik dilarang keras untuk menyebarkan agama. Zheng He dan pengikutnya yang Muslim itu mencari sekutu untuk kerajaan Tiongkok."
Tapi ia tidak memungkiri bila anak-anak buah Cheng Ho yang menetap berkontribusi untuk penyebaran Islam.
Penyebab lain mengapa orang Tionghoa bermigrasi disebabkan dalam pelayaran membutuhkan angin muson yang harus ditunggu datangnya. Akibatnya, sebagian dari mereka memilih menetap, sedangkan yang kembali lebih mengamanahkan kepada penduduk lokal untuk menjaga gudang barang mereka.
"Jadi ketika mereka memilih menetap maupun sekedar berdagang, mereka juga berbaur dengan penduduk lokal. Tidak ada pemisah."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR