Nationalgeographic.co.id—Asal-usul kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia tak terlepas dari migrasinya bangsa Austronesia, yang merupakan bagian dari ras Mongoloid di masa lalu. Kedatangan mereka, berdasarkan buku pengetahuan sejarah umum, berasal dari tanah Yunnan dan Campa pada 5000 SM hingga 3000 SM.
Meskipun berasal dari Yunnan yang berada di Tiongkok, nenek moyang Nusantara memiliki perbedaan postur dengan etnis Tionghoa. Menurut budayawan Tionghoa, Ardian Cangianto, sebagian etnislah yang melakukan migrasi keluar Yunnan yang disebabkan berbagai faktor seperti mengadu nasib.
"Kita harus tahu, Yunnan itu di masa awal peradaban Tiongkok dikuasai Dinasti Qin," ungkapnya pada webinar Kelas Sejarah dan Budaya Tionghoa yang diadakan Merdeka Belajar. "Yunnan berbatasan dengan negara, dan punya banyak suku perbatasan, jadi teori Yunnan sepertinya bukanlah berasal dari suku Han."
Ia menambahkan, mungkin kontak awal etnis Tionghoa dengan Austronesia sudah ada sejak di Yunnan sebelum melakukan migrasi.
Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan
Catatan beraksara yang menggambarkan hubungan Nusantara dengan Tionghoa baru tertulis pada Dinasti Han (202 SM - 220 M) berjudul Hànshū dìli zhì atau Catatan Geografis Han. Catatan tersebut sudah mulai menyebutkan Yetiao guo untuk merujuk kepulauan Nusantara sebagai alternatif menuju India.
Selain catatan, temuan arkeologis juga menemukan prasasti di Pasemah, Sumatera Selatan yang mirip dengan temuan di depan makam seorang jenderal Han, Huo Qubing. Menurut Ardian, itu merupakan bukti bahwa keberadaan Tionghoa sudah lama ada di Nusantara.
Pada periode Tiga Negara setelah Dinasti Han pecah, orang-orang Tionghoa mulai banyak mencatat keberadaan Nusantara. Catatan-catatan mereka pun juga sudah menyebutkan cukup detail nama-nama negeri di Nusantara, seperti Jawa, Sumatra, dan Belitung.
Kang Tai dalam tulisannya Wú shí wàiguó chuán atau Kisah Negeri Asing era Wu, menyebutkan dirinya sudah mencapai Maluku dan melihat banyaknya cengkih yang menjadi ciri khas negeri itu.
Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
"Setelah Dinasti Han mulai banyak catatan-catatan sejarah yang menyebutkan [daerah Nusantara] cukup jelas," terangnya.
Umumnya kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara memiliki tujuan perdagangan, urusan diplomatis, keagamaan, dan mencari kehidupan baru akibat konflik politik yang terjadi di negeri asal.
Bahkan pada masa Sriwijaya, orang Buddha Tionghoa aliran Theravada datang ke Nusantara untuk mempelajari agama. Sebab pada masa itu Sriwijaya menjadi kerajaan pendidikan agama Buddha yang tak kalah bagusnya dari India.
Jalur perdagangan sendiri berkembang melalui bandar-bandar yang jadi pusat perdagangan di Tiongkok lewat jalur laut. Bandar itu berada di Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Mizhou, Wenzhou, dan Mingzhou.
"Pada masa Tang (618-907) dan Song (960-1279), Guangzhou merupakan tempat perdagangan internasional terbesar. Di sanalah pertama kali mulai ada bea cukai sejak zaman Tang hingga Ming," jelasnya.
Guangzhou juga cukup maju secara infrastrukturnya dan pemerintah setempat membuat kepengurusan penerjemahan, termasuk bahasa Melayu. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Guangzhou sendiri merupakan kota majemuk yang menjadi akses setiap bangsa bertemu.
Kedatangan agama Islam ke Nusantara pun tak lekang karena peran Tiongkok pada jalur perdagangan ini. Ardian juga menyebutkan bahwa kedatangan Islam di tanah Tiongkok, khususnya di Guangzhou, sezaman dengan masa hidupnya Nabi Muhammad sendiri. Guangzhou merupakan kota perdagangan terbesar di Tiongkok.
"Selanjutnya mereka datang ke Nusantara bareng orang Arab dan Persia yang sudah menetap di Tiongkok," Ardian berpendapat.
Bahkan sosok tokoh terkenal yang memanfaatkan jalur perdagangan untuk penyebaran Islam adalah seorang saudagar yang sekaligus seorang syekh, Siu Te Yo. Di kemudian hari keturunannya menjadi sultan pertama Kesultanan Demak, Raden Patah (Jin Bun).
Baca Juga: Teh Tayu, Warisan Budaya Tionghoa Bangka yang Menggantikan Timah
Di sisi lain, Ardian tak sependapat bila Laksamana Cheng Ho atau Zheng He menyebarkan agama Islam. Ia berpendapat, "Dia datang untuk diplomasi politik, sebab pejabat politik dilarang keras untuk menyebarkan agama. Zheng He dan pengikutnya yang Muslim itu mencari sekutu untuk kerajaan Tiongkok."
Tapi ia tidak memungkiri bila anak-anak buah Cheng Ho yang menetap berkontribusi untuk penyebaran Islam.
Penyebab lain mengapa orang Tionghoa bermigrasi disebabkan dalam pelayaran membutuhkan angin muson yang harus ditunggu datangnya. Akibatnya, sebagian dari mereka memilih menetap, sedangkan yang kembali lebih mengamanahkan kepada penduduk lokal untuk menjaga gudang barang mereka.
"Jadi ketika mereka memilih menetap maupun sekedar berdagang, mereka juga berbaur dengan penduduk lokal. Tidak ada pemisah."
Ketika memilih menetap pun, mereka tak lagi menganggap Tiongkok sebagai tanah air mereka, melainkan negeri yang ia tempati.
"Ini karena filosofi mereka ada pada penyebutan 'negara' sebagai Guó," ujarnya. "Makna dalam huruf Guó ini adalah terdiri dari empat huruf susunannya, yang jika digabungkan bermakna: kawasan di mana yang kita tempati, kita wajib menjaganya,"
"Jadi istilahnya sama dengan 'dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung', kurang lebih begitu."
Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743
Mirisnya, pemisahan antara etnis Tionghoa ini mulai ada sejak VOC memonopoli jalur perdagangan. Terutama saat peristiwa Geger Pacinan pada 1740, bermula akibat merosotnya nilai gula yang dimonopoli.
"Itu mereka umumnya keturunan dari Fujian yang pandai tebu. Mereka kekurangan pekerjaan. Saat itulah ada provokasi yang menjadi awal mula Geger Pacinan," jelasnya.
Peristiwa itu membuat koalisi orang Tionghoa bersama orang Jawa. Setelah momen itu, pemerintah VOC memontong hubungan mereka dengan membuat tempat khusus bagi etnis Tionghoa. Sistem pecinan adalah salah satunya, yang kemudian diberlakukan di beberapa kota di Hindia Belanda.
"Akibatnya jurang pemisah etnis inilah lahir di negeri kita. Politik devide et impera atau adu domba menyebabkan permasalahan kita hingga kini," pungkasnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR