Nationalgeographic.co.id—Setahun pagebluk Covid-19, para ilmuwan telah mengembangkan beragam vaksin yang masih diuji klinis. Pemerintah Indonesia pun telah mengekspor vaksin Sinovac dari Tiongkok yang bekerja sama dengan perusahaan Bio Farma.
Vaksin Sinovac sendiri telah mengantongi EUA (Emergency Use Authorization) dari BPOM dengan efikasi 65,3 persen. EUA merupakan perizinan edar vaksin dan obat saat kondisi darurat yang dinilai sudah cukup aman digunakan secara ilmiah. Meski EUA sudah berlaku, uji klinis tahap lanjut harus tetap dilaksanakan agar dapat digunakan—terutama setelah pagebluk berakhir.
Sedangkan efikasi merupakan tingkat penurunan virus pada golongan orang yang divaksinasi dalam konteks kuantitatif penelitian. Angka persentase efikasi ditentukan dari perkiraan dampak vaksin pada penularan virus terhadap golongan yang tak dapat divaksinasi.
Golongan masyarakat yang tak mendapatkan vaksinasi saat ini, menurut Satgas Penanggulangan Covid-19, merupakan ibu hamil dan menyusui, dan di luar usia produktif 18-59 tahun. Padahal di luar negeri mengizinkan vaksin dapat digunakan untuk ibu hamil dan menyusui.
Baca Juga: Penyakit-Penyakit yang Mungkin Terlupakan Karena Efektifitas Vaksin
Menanggapi hal itu, direktur LBM Eijkman Amin Soebandrio, menjelaskan karena vaksin yang ada di Indonesia berbeda dari jenis vaksin di negara-negara yang memperbolehkan. Tetapi ia menyebut, beberapa profesi bisa saja diperbolehkan divaksin bila mendapatkan rekomendasi atas izin tertentu dari otoritas tertentu lewat pendekatan ilmiah.
“Kalau tidak ada riset dasarnya bisa dianggap malpraktek,” terangnya dalam webinar Kupas Tuntas Vaksin Covid-19: Kita SIAP Divaksinasi yang diadakan Yayasan Orang Tua Peduli.
Mengenai mengapa di luar usia 18-59 tak menjadi target vaksinasi, karena bayi belum memiliki ketahanan tubuh yang matang untuk menerima vaksin. Sedangkan yang berusia 60 ke atas terjadi penuaan dari respon imun sehingga dapat berisiko tinggi.
Usia 18-59 merupakan umur produktif yang biasanya berkegiatan di rumah, sedangkan di luar itu lebih sering berkegiatan di dalam rumah. Demi mencapai target kekebalan komunal, vaksinasi diberikan pada golongan produktif.
“Nah kalau mereka [golongan usia produktif] tidak diberikan terlebih dahulu, akan terpapar virus di luar, dan membawa oleh-oleh virus ke orang yang di rumah. Ini tentu tidak mau terjadi, yang kita inginkan mereka semua terlindungi sehingga tidak tertular virus, tidak sakit, dan menjadi penularan pada vulnerable (golongan usia non produktif),” jelasnya.
Baca Juga: Kematian Akibat COVID-19 Mencapai Satu Juta, Jumlahnya Bisa Berlipat Ganda Tanpa Vaksin
Namun di sisi lain, proses vaksinasi Sinovac sendiri membuat penerimanya menjadi positif setelah disuntik. Soebandrio berpendapat bahwa vaksin saat ini tak ada yang menggunakan virus Covid-19 hidup yang dilemahkan, sehingga jika paparan karena vaksin sendiri adalah mustahil.
“Itu (positif akibat vaksin) bisa terjadi bila vaksin virus yang hidup dilemahkan, di mana orang itu memiliki imun yang lemah, maka virus itu ketemu dengan temannya [di dalam], kemudian terjadi pertukaran gen. Di situ bisa menjadi pemaparan,” terangnya. “Tapi itu tidak terjadi pada vaksin ini, semua menggunakan yang sudah dimatikan.”
Ia juga menjelaskan, bahwa produksi vaksin Sinovac sendiri harus dipastikan tidak ada virus hidup yang lolos.
Menurutnya, kondisi yang menyebabkan orang yang sudah divaksin terkena virus karena kadar di dalam tubuh belum mencapai kondisi yang cukup untuk melindungi. Sebab dibutuhkan waktu agar vaksin dapat optimal, kemudian perlu dilakukan suntikan vaksin berikutnya agar kekebalannya lebih optimal.
“Ada jeda antara suntikan pertama hingga terjadinya proteksi itu selama satu bulan, ada yang tiga minggu, ada yang lebih satu bulan. Ketika kita baru beberapa hari kita terkena suntik vaksin, itu kita belum terproteksi,” ia berujar.
Meski vaksin Sinovac teruji klinis untuk mendapatkan izin EUA, Soebandrio menganjurkan agar proses vaksinasi dilakukan berhati-hati. Ia menduga bahwa kasus positif mungkin akibat dari proses vaksinasi sendiri yang kurang baik.
Vaksin Merah Putih
Demi memenuhi target kekebalan komunal sekitar 180 juta penduduk, Indonesia tak bisa bergantung begitu saja pada vaksin ekspor Tiongkok. Soebandrio menyebut, salah satu alasannya adalah agar Indonesia dapat mandiri menangani pagebluk.
“Sedangkan kebutuhan vaksin itu sekitar 200 juta dosis, kita membutuhkan jumlah vaksin ini sebanyak, minimum 175 juta orang divaksinasi dan masing-masing 2 kali atau 350 juta dosis,” terangnya. “Kita bisa bayangkan vaksin sebanyak itu tidak mungkin bergantung pada luar.”
Ia mengungkapkan, pengembangan vaksin ini dilakukan oleh berbagai lembaga akademis, seperti UNAIR, UGM, ITB, UI, dan LBM Eijkman itu sendiri. Pengembangan hingga tahap uji klinis akhir diperkirakan tuntas di tahun depan.
Untuk dapat diberikan kepada masyarakat, para peneliti vaksin perlu mengetahui bagaimana keamanannya. Soebandrio berujar, vaksin harus memiliki rasio perbandingan antara manfaat yang lebih tinggi daripada risikonya.
Baca Juga: Langkah Panjang Vaksinasi Demi Hadapi Pagebluk di Hindia Belanda
Manfaat unggul dari vaksin harus mencakup kuasa penyebarannya, kemampuannya menekan angka kematian, perlindungan, dan kemampuannya agar membuat penyakit tidak parah. Sedangkan risiko yang dapat diabaikan seperti efek simpang berupa pegal dan demam ringan.
Soebandrio menyebut bahwa pengembangan vaksin Merah Putih ini masih dalam uji klinis agar memastikan keamanannya untuk masyarakat. Vaksin Merah Putih berusaha agar dapat lolos di uji klinis fase III supaya mendapatkan EUA.
“Vaksin Merah Putih tetap berkomitmen menyelesaikannya sesuai peraturan dan pedoman yang berlaku,” pungkasnya
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR