Nationalgeographic.co.id—Sisi selatan Indonesia merupakan salah satu tempati seismik teraktif di dunia. Hal yang umum bila negeri ini kerap dilanda bencana alam seperti gempa bumi, vulkanisme, hingga tsunami.
Semasa kolonialisme Belanda, Ron Harris dan Jonathan dalam Waves of destruction in the East Indies: the Wichmann catalogue of earthquakes and tsunami in the Indonesian region from 1538 to 1877 (jurnal Geological Society Vol 441 Tahun 2017) mencatat, terdapat 36 tsunami menerjang Hindia Timur sejak abad ke-16.
Tak terkecuali di Pangandaran, sebelumnya tsunami pernah menerjang kawasan ini pada Juli 2006. Jauh sebelum itu, Eko Yulianto Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI lewat rilis tahun 2006 menyebut bahwa Pangandaran juga sempat dilanda tsunami pada 1921.
Dalam laporannya, endapan tsunami itu berada pada kedalaman 10 hingga 20 cm di bawah permukaan tanah dengan ketebalan endapan mencapai 4 cm. Secara sepintas, endapan itu sangat mirip dengan endapan hasil tsunami Juli 2006, yakni lapis pasir kehitaman.
Eko Yulianto juga menemukan adanya endapan tsunami tertua di sekitar Pangandaran yang diperkirakan bertanggal sekitar tahun 1600. Ia menyebut, tsunami itu mengendapkan batang-batang kayu dari sebuah rawa 1,5 km dari bibir pantai.
"Gempa dan tsunami raksasa dari jalur-jalur tunjaman lempeng dipastikan terjadi berulang. Jalur-jalur ini akan tetap menghasilkan gempa dan tsunami raksasa di masa datang. Tiap-tiap jalur memiliki waktu perulangan ratusan hingga ribuan tahun," terangnya, dikutip dari Antara, September 2020.
Baca Juga: 10 Tahun Tsunami Pangandaran, Tsunami Dahsyat Tanpa Isyarat Gempa
Namun pada 2018, Kevin Lamar Stuart peneliti dari Department of Geological Sciences Brigham Young University menguak adanya tsunami besar 1.300 tahun yang lalu yang melanda Pangandaran dan Cilacap.
Stuart menganalisa sejumlah endapan di Kota Pangandaran dan kecamatan Adipala, Cilacap yang berhubungan dengan sisa tsunami. Sampel endapan yang diteliti yakni dari Situs Batu Kalde dan Gua Panggung di Cagar Alam Pangandaran, dan sejumlah titik di Adipala.
Baca Juga: Rasa Asam Unik dari Pangandaran
Dalam tesisnya Discovery of Possible Paleotsunami Deposits in Pangandaran and Adipala, Java, Indonesia Using Grain Size, XRD, and 14C Analyses, ia juga membandingkannya dengan data temuan LIPI sebelumnya.
Setidaknya ada lima sampel yang dikumpulkan dari Situs Batu Kalde. Sampel itu berupa pasir aragon dan fosil laut yang berada diatas di atas lapisan temuan arkeologis Batu Kalde setinggi hingga lima meter.
"Kemungkinan lapisan ini diendapkan oleh tsunami, yang berpotensi ditimbulkan oleh dorongan besar gempa bumi," tulisnya.
Fosil laut yang ditemukan diperkirakan berusia sekitar 5.600 tahun. Tetapi ketika diamati letaknya yang berada di atas bangunan Hindu kuno itu, Stuart menemukan meyakini fosil itu bisa di sana pada 1.300 tahun yang lalu.
"Dengan mempertimbangkan data permukaan laut dan pengangkatan yang disebutkan serta ketinggian dan topografi situs dan daerah sekitarnya, tampaknya sangat tidak mungkin bahwa kombinasi penurunan permukaan laut dan pengangkatan pantai selama 5600 tahun yang lalu," terang Stuart.
Tak jauh dari Situs Batu Kalde terdapat Gua Panggung yang menghadap langsung ke sisi timur pantai Cagar Alam Pangandaran. Di dalamnya, terdapat situs kuburan Embah Jaga Lautan yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam di tanah Pangandaran. Stuart berpendapat, dengan nama tokoh itu mungkin merujuk pada ancaman tsunami di masa sebelumnya.
Baca Juga: Menguak Sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran
Dalam observasinya di gua itu, ia menemukan pada sisi-sisi gua terdapat endapan yang terkoyak-koyak. Menurutnya, itu menunjukkan adanya aktivitas tsunami yang masuk ke dalam gua ini, dan lebih tua dari tsunami 2006 maupun 1921.
Komposisi sedimen dan umur radiokarbon menunjukkan bahwa keberadaannya di gua itu terjadi akibat satu endapan tsunami di masa lalu.
Terdapat arang berusia 5000 tahun yang melapisi bahan organik modern, yang hasilnya serupa dengan di Situs Batu Kalde bahwa bahan itu terdampar akibat tsunami. Arang ini juga menunjukkan bahwa tsunami pertama-tama menyapu lantai gua, kemudian mengeluarkan berbagai materi yang ada.
Sedangkan hasil studi di kecamatan Adipala, Cilacap, ditemukan bukti tsunami dengan usia yang sama. Bukti itu berupa lapisan pasir kunging yang ditemukan pada kedalaman sekitar 90 centimeter dari permukaan tanah liat.
Bukti lainnya juga berupa sejumlah endapan lapisan magentit kecil yang tertimbun sengkedan di lokasi penggalian. Bukti ini menjalaskan bahwa gelombang tsunami itu menerjang dua kali ke daratan.
"Namun, usia sampel endapan [di Adipala] tidak dapat diketahui, begitu pula usia keberadaan punggungan bukit, sehingga lingkungan pengendapan asli untuk endapan tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, temuan di Adipala mendukung kesimpulan yang dicapai untuk dua lokasi lainnya [Situs Batu Kalde dan Gua Panggung]," tutup Stuart.
Source | : | ResearchGate,lipi.go.id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR