Istilah hikikomori sendiri berasal dari kata kerja hiki yang artinya “menarik” dan komori yang berarti “berada di dalam”. Istilah ini diciptakan pada tahun 1998 oleh psikiater Jepang Profesor Tamaki Saito. Saito memilih istilah tersebut untuk mendeskripsikan banyak anak muda yang dia temui yang tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis kesehatan mental, tetapi tetap berada dalam keadaan penarikan diri yang ekstrem dan menyusahkan.
Baca Juga: Foto-foto Ini Ungkap Kehidupan Hikikomori yang Terisolasi di Jepang
Ada beberapa ciri inti hikikomori. Salah satunya adalah secara fisik mereka mengisolasi diri mereka sendiri di rumah setidaknya selama enam bulan. Mereka kemudian terputus dari hubungan sosial yang berarti dari dunia luar rumah mereka. Dan akibatnya akan ada gangguan signifikan dan gangguan fungsional pada kehidupan mereka karena mereka menghindari kegiatan-kegiatan di mana mereka mungkin harus berinteraksi dengan orang lain atau pergi ke luar rumah, bahkan walaupun kegiatan-kegiatan tersebut adalah upaya untuk memenuhi kehidupan dasar mereka sehari-hari.
Di samping isolasi fisik, orang-orang hikikomori menunjukkan keterpisahan psikologis yang ekstrem dari dunia sosial. Tempat terjadinya interaksi sosial yang aktif seperti sekolah atau tempat kerja menjadi tidak mungkin bagi orang-orang tersebut. Mereka tetap terputus secara sosial dari orang-orang di sekitar mereka baik saat mereka berada di dalam rumah maupun di luar rumah.
Meskipun beberapa orang hikikomori, yang disebut soto-komori, dapat melakukan aktivitas di luar ruangan, mereka jarang berinteraksi dengan orang lain. Beberapa dari mereka mungkin menggunakan internet sebagai jendela dunia mereka, tetapi mereka cenderung tidak berinteraksi dengan orang lain.
Baca Juga: Hikikomori, 'Penyakit' yang Membuat Warga Jepang Mengurung Diri
Di dalam jurnal World Psychiatry, ketiga peneliti itu juga pernah menulis bahwa sebelum pandemic COVID-19 Kantor Kabinet Jepang memperkirakan ada lebih dari 1,1 juta orang dengan hikikomori di Jepang. Dan sekarang terdapat peningkatan pengakuan ciri-ciri hikikomori di berbagai negara dan budaya lain.
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pengalaman traumatis dari rasa malu dan kekalahan biasanya dilaporkan sebagai pemicu hikikomori dalam lintas budaya ini. Misalnya karena gagal dalam ujian penting, atau tidak mendapatkan pekerjaan yang berharga.
“Ada kemungkinan bahwa sistem nilai budaya Jepang membuat populasi ini lebih rentan karena tekanan untuk keseragaman kolektif dan ketakutan akan rasa malu sosial. Orang-orang Hikikomori menghindari trauma ulang dengan memilih untuk keluar dari jalur ‘normal’ yang ditetapkan untuk mereka oleh masyarakat.”
Orang hikikomori tidak hanya kehilangan bertahun-tahun hidupnya dalam isolasi. Kondisi ini juga memengaruhi keluarganya. Biasanya, orang tua Jepang dari orang-orang hikikomori ini mendedikasikan bertahun-tahun waktunya untuk memastikan kebutuhan hidup dasar anak mereka tetap terpenuhi. Artinya, jarang ada pemicu alami yang mendorong orang-orang hikikomori ini untuk mencari bantuan.
Baca Juga: Hikikomori, Penyakit Mental yang Membuat Warga Jepang Mengurung Diri
Sifat pada orang-orang hikikomori bahkan sesungguhnya sangat tidak mungkin mencari bantuan. Dan pilihan gaya hidup mereka ini mungkin akan semakin dapat diterima di tenah pandemi COVID-19 ini, terutama mengingat banyak dari kita sekarang bekerja dari rumah dan berkomunikasi menggunakan internet.
Oleh karena itu, para peneliti memprediksi sekaligus mengkhawatirkan bahwa jumlah orang-orang hikikomori akan bertambah selama dan setelah pandemi COVID-19 ini. “Ketakutan akan infeksi, kehilangan pekerjaan, dan gangguan sosial karena aturan pembatasan sosial juga dapat menambah risiko penarikan dan pelepasan sosial yang terus-menerus bagi banyak orang,” tulis mereka.
Para peneliti menyarankan perlunya mewaspadai potensi peningkatan penarikan sosial yang ekstrem dan terus-menerus selama dan setelah pandemi COVID-19 ini. “Banyak anak muda saat ini mungkin merasa putus asa dan mungkin tidak melihat prospek untuk permulaan yang baru (pascapandemi), atau mungkin merasa tidak mampu mencapai tujuan mereka (akibat pandemi ini),” tekan para peneliti.
Source | : | The Conversation,World Psychiatry |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR