Nationalgeographic.co.id—Di dataran tinggi Himalaya terdapat danau glasial kecil yang disebut Roopkund. Tempat itu indah, diibaratkan seperti sesendok air berwarna permata di tengah kerikil dan kerakal kasar. Segalanya terlihat cantik kecuali ratusan tulang manusia yang tersebar di dalam dan di sekitar danau itu.
Tulang-tulang ini milik antara 300 dan 800 orang. Mereka telah menjadi misteri sejak penjaga hutan pertama kali melaporkan temuan ini ke dunia internasional pada tahun 1942.
Belakarang, misteri mengenai tulang-tulang manusia itu semakin dalam. Pada 2019, hasil analisis genetik baru dari DNA purba di tulang-tulang itu dirinci ke dalam laporan studi di jurnal Nature Communications. Studi itu menemukan bahwa setidaknya 14 orang yang meninggal di danau itu mungkin bukan dari Asia Selatan. Gen mereka lebih cocok dengan orang-orang zaman modern di Mediterania timur.
Baca Juga: Fosil Paru-paru Ikan Purba Raksasa Ditemukan, Usianya 66 Juta Tahun
Selain itu tulang-tulang dari 14 orang ini jauh lebih baru daripada kebanyakan tulang lainnya di danau tersebut. Kebanyakan tulang lainnya hidup pada tahun 800. Adapun tulang-tulang dari orang-orang bergenetik Mediterania ini tampaknya meninggal sekitar tahun 1800.
Jadi, apa sebenarnya yang dilakukan sekelompok orang dari Mediterania di atas ketinggian 16.500 kaki (5.029 meter) di sudut terjauh Himalaya? Dan bagaimana mereka mati?
Misteri Roopkund ini menunjukkan perlunya berbagai bukti untuk menyelidiki masa lalu. Tulang-tulangnya saja yang membingungkan: Tulang itu milik pria dan wanita, kebanyakan dewasa muda, yang tampaknya telah meninggal dalam beberapa serangan, mungkin selama ratusan tahun lalu.
Sejarah lisan yang diturunkan oleh penduduk desa di dekat Roopkund menawarkan sebuah penjelasan. Danau ini merupakan jalur ziarah ke Nanda Devi, perwujudan dewi Hindu Parvati. Menurut legenda lokal, seorang raja jauh pernah membuat marah Nanda Devi, menyebabkan dia melepaskan kekeringan di kerajaannya.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR