Nationalgeographic.co.id - Berkat sampel batuan vulkanik yang dikumpulkan selama misi Apollo 15 (tahun 1971) dan Apollo 17 (1974) oleh NASA, para penleiti kini dapat memahami kondisi Bulan di masa purba. Bulan di masa sebelumnya merupakan benda angkasa yang cukup panas dengan limpahan magma di permukaannya.
Lautan magma itu diperkirakan telah melingkupi Bulan selama sekitar 100 juta tahun setelah terbentuk.
Studi terbaru yang diterbitkan di Science Adavances (24/02) membantu menjawab pertanyaan ilmiah tentang komposisi rupa Bulan. Sekaligus, mambantu para ilmuwan selangkah lebih maju untuk memahami sejarah pembentukan dan awal sejarah Bulan.
Sampel itu merupakan batuan vulkanik yang memiliki tanda isotop terkait peristiwa penting selama pembentukan Bulan. Melalui analisa para peneliti dari Brown University, selama peristiwa itu juga seiring dengan pembentukan inti besi Bulan, dan kristalisasi lautan magma.
Baca Juga: Penyintas Kanker yang Bergabung Pada Misi Luar Angkasa Sipil Pertama
Dalam laporannya yang diterbitkan di jurnal Science Advances, mereka menggunakan teknik spektometri massa ion sekunder untuk mempelajari sisa-sisa kristal magma yang diambil dari kedua misi NASA itu.
Mereka menilai pula, bahwa yang dibawa NASA merupakan material paling primitif di Bulan. Sehingga mereka dapat mengamati komposisi sulfur, yang dapat mengungkapkan secara detail terkait evolusi lava secara uji kimia.
"Selama bertahun-tahun, tampaknya sampel batuan endapan dari bulan yang dianalisa memiliki variasi yang sangat terbatas dalam rasio isotop sulfur," ujar Alberto Saal, dikutip dari rilis akademik. "Ini menunjukkan bahwa sisi dalam Bulan memiliki komposisi isotop sulfur yang bersifat homogen."
Ciri keunikan sulfur yang menarik dari sampel ini adalah rasio isotop sulfur-34 yang lebih 'berat' dengan sulfur-32 yang lebih ringan. Lewat studi sebelumnya pada sampel vulkanik, studi awal mengungkapkan secara seragam condong pada sulfur-34 yang lebih berat.
Berbeda dengan temuan baru yang mengungkapkan isotop sulfurnya lebih homogen, dengan variasi besar pada elemen dan isotop lain yang terdeteksi pada sampel.
Studi baru ini mengobservasi pada 67 sampel kaca vulkanik dan inklusi lelehannya, seperti gumpalan kecil dari lava cair yang teperangkap di dalam kristal. Lava yang terperangkap dalam inklusi lelehan, sebelum menjadi sulfur dan elemen volatil lainnya terelepas sebagai gas selama erupsi (degassing).
Sehingga sampel itu dapat menjadi alasan kuat untuk diteliti karena mewakili gambaran murni tentang asal-usul lava.
Kemudian lewat teknik spektometri massa ion sekunder, mereka mengukur isotip sulfur pada kaca dan inklusi leleh murni itu. Hasil teknik itu juga bertujuan untuk kalibrasi model proses degassing pada seluruh sampel.
Baca Juga: Terdeteksi di Mars: Reaksi Kimia yang Menghadirkan Misteri Baru
"Setelah kami mengetahui proses degassing itu, maka kami dapat memperkirakan kembali komposisi isotop sulfur asli dari sumber yang menghasilkan lava ini," kata Saal.
Mengapa isotip sulfur-34 lebih berat juga dapat dijelaskan dengan pendinginan dan kristalisasi lebih lanjut saat Bulan masih cukup cair permukaannya. Proses kristalisasi menghilangkan sulfur dari lautan magma, kemudian menghasilkan reservoir padat, dan menjadikannya lebih berat.
Proses itu kemungkinan, menurut para peneliti, merupakan sumber nilai isotop yang lebih berat yang ditemukan di beberapa materi kaca vulkanik dan batuan basal.
"Hasil kami menunjukkan bahwa sampel ini merekam peristiwa kritis dalam sejarah bulan," jelas Saal dilansir dari Eurekalert. "Saat kami terus meneliti sampel ini dengan teknik yang lebih baru dan lebih baik, kami terus mempelajari hal-hal baru."
Ia juga menyampaikan, bahwa ada banyak studi yang akan dilakukan, dan memerlukan lebih banyak sampel lagi untuk dianalisa. Dengan demikian, barulah para peneliti dapat memahami bagaimana komposisi isotip sulfur Bulan.
Source | : | eurekalert,Rilis,Science Advances |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR