Nationalgeographic.co.id—Fenomena hujan es yang turun pada Rabu (3/3/2021) siang menghebohkan warga Danurejan dan wilayah sekitarnya di Yogyakarta. Saat bongkahan-bongkahan es menghujani rumah warga, sejumlah wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta ini sedang dilanda hujan lebat yang disertai angin kencang.
Bagaimana hujan es ini bisa terjadi di Yogyakarta? Apa penyebabnya?
Kepala Stasiun Klimatologi Sleman, Reny Kraningtyas, dalam siaran persnya menjelaskan hujan es ini bersifat sangat lokal dengan radius sekitar 2 kilometer. Hujan es ini terjadi sebagai dampak pertumbuhan awan cumulonimbus (Cb). "Hujan es adalah fenomena alam biasa dan biasanya terjadi bersamaan saat hujan lebat," kata Reny.
Reny memaparkan saat udara hangat, lembab, dan labil terbentuk di permukaan bumi, pengaruh pemanasan bumi yang intens akibat radiasi matahari akan mengangkat massa udara tersebut ke atmosfer. Selanjutnya, sampai di atmosfer, massa udara itu akan mengalami pendinginan.
Setelah terjadi kondensasi, akan terbentuk titik-titik air yang terlihat sebagai awan cumulonimbus. Karena kuatnya energi dorongan ke atas, puncak awan kemudian tumbuh menjadi sangat tinggi hingga mencapai freezing level atau tingkat pembekuannya.
Baca Juga: Menyingkap Waktu Tsunami Aceh dari Catatan Alam di Gua Euk Leuntie
Freezing level ini selanjutnya menyebabkan terbentuknya kristal-kristal es dengan ukuran yang cukup besar. Saat awan sudah matang dan tidak mampu menahan berat uap air, maka hujan lebat pun akan turun disertai bongkahan-bongkahan es. Es yang turun ini bergesekan dengan udara, sehingga mencair dan saat sampai ke permukaan tanah ukuran bongkahan es tersebut akan jadi lebih kecil.
"Ke depan potensi hujan es masih akan terjadi hingga berakhirnya masa pancaroba pada April mendatang," ujar Reny mewanti-wanti.
Hujan es ini berbeda dengan hujan salju yang ada di negara-negara empat musim. Apa saja perbedaannya?
Pertama, pada dasarnya, hujan es adalah fenomena alami dan biasa yang dapat terjadi di wilayah manapun di bumi ini. Jelas berbeda dengan hujan salju yang hanya bisa terjadi di wilayah lintang lebih dari 23,5 derajat.
Kepala Bidang Manajemen Observasi Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengatakan, hujan es bisa terjadi dalam dua kondisi. Pertama, pada masa pancaroba yang disertai angin kencang. Kedua, hujan dengan perbedaan suhu yang besar dalam satu hari.
Baca Juga: NASA Bingung dengan Munculnya Garis-Garis Geologi Aneh di Rusia
Perbedaan kedua, "kalau hujan es disebabkan oleh awan cumulonimbus, salju disebabkan oleh awan nimbostratus," ujar Hary seperti dikutip dari Kompas.com.
Hary menjelaskan, awan jenis cumulonimbus lebih banyak mengandung air dalam bentuk padat daripada cair. Oleh karena itu, hujan yang turun bisa dalam bentuk padat. Tidak hanya berpotensi menyebabkan hujan es, awan cumulonimbus juga bisa menyebabkan hujan lebat disertai angin kencang dan petir.
Perbedaan ketiga, hujan es memiliki durasi yang lebih singkat daripada hujan salju karena hujan es dipengaruhi oleh intensitas hujan. Selain itu, Hary menambahkan, kondisi es yang beku dari hasil hujan es juga akan bertahan sebentar di permukaan bumi. Paling lama bertahan selama sepuluh menit.
Tak lama setelah es jatuh dari langit, dia akan segera mencair. Adapun salju bisa tahan lebih lama di permukaan tanah karena suhu daratan yang sangat rendah.
Jadi ketika Anda merasa pernah terkena jatuhan hujan es tapi Anda gagal menemukan keberadaan es itu, bisa jadi es tersebut memang sudah mencair dan bercampur dengan air hujan lainnya di tanah.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR