Nationalgeographic.co.id—Salah satu jalur perdagangan dunia yang menyimpan banyak harta karun atau cagar budaya bawah laut adalah jalur rempah. Salah satu area dari jalur rempah yang menyimpan banyak kapal tenggelam beserta muatannya adalah wilayah Nusantara. Kini sebagian besar wilayah itu menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
UNESCO pernah melaporkan, ada sekitar 5.000 kapal kuno yang karam di Asia Tenggara. Dari 5.000 kapal tersebut, 10% di antaranya diperkirakan ada di wilayah perairan Indonesia. Adapun Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menemukan ada sekitar 460 titik lokasi kapal karam di Indonesia.
Surya Helmi, anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional yang juga merupakan mantan Direktur Peninggalan Arkeologi Bawah Air Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, mengatakan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu Kepulauan Indonesia –atau dulu Kepulauan Nusantara– sudah menjadi tempat persimpangan jalur pelayaran kapal-kapal dagang internasional yang sangat terkenal dan ramai. Sebab, letak kepulauan ini sangatlah strategis, yakni berada di antara dua benua dan dua samudra.
“Karena beberapa sebab –dihantam badai, menabrak karang, dibajak perompak, peperangan, dan berbagai sebab lainnya–, maka tidak heran jika banyak ditemukan reruntuhan kapal karam dan muatannya di dasar laut perairan Indonesia,” kata Helmi dalam acara Webinar "Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021" yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Rabu, 10 Maret 2021.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Barang muatan kapal tenggelam (BMKT) –atau sering dianggap sebagai “harta karun”– di bawah laut perairan Indonesia ditaksir memiliki nilai 12,7 miliar dolar AS atau setara Rp170 triliun. Pemerintah Indonesia melalui Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT (PANNAS BMKT) sempat diperkirakan akan dapat bagi hasil yang besar dari para investor yang akan melakukan pengangkatan terhadap kapal karam dan muatannya sehingga bisa menjadi devisa negara.
Sayangnya, dari beberapa kali pengangkutan kapal karam dan muatannya yang sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1980-an sampai kini, pemerintah Indonesia tidak atau belum mendapatkan hasil yang signifikan.
“Dari puluhan pengangkatan kapal karam yang pernah dilakukan di Indonesia, hanya beberapa saja yang dinilai ‘berhasil’. Selebihnya hanya menghasilkan puluhan ribu benda-benda yang sebagian besar berupa keramik yang tidak mempunyai ‘nilai komersial’ dan ‘tidak laku dijual’,” beber Helmi. Sebagian besar keramik itu kini hanya teronggok di Gudang BMKT di Cileungsi atau gudang-gudang lain milik investor.
Dari sebagian besar hasil pengangkatan BMKT di wilayah perairan Indonesia yang dianggap “berhasil”, pemerintah kita tetap tak mendapatkan bagian yang signifikan. Helmi menyebut pengangkatan muatan kapal Geldermalsen milik VOC di perairan Karang Heluputan, Kepulauan Riau, pada tahun 1985 sebagai salah satu contohnya.
Baca Juga: Kisah Tragis Zaman VOC: Bangkai Kapal Batavia dan Kekejian Perompak
Kapal dagang Geldermalsen itu karam pada tahun 1751. Pada 1985 Michael Hatcher, pelaut keturunan Inggris yang dikenal sebagai pemburu harta karun kelas kakap berhasil mengangkat muatan kapal Geldermalsen yang terdiri atas keramik Dinasti Qing dan ratusan batang logam mulia.
“Pengangkatan ini ilegal karena dilakukan tanpa izin resmi pemerintah. Hasil ‘jarahan’ ini dilelang oleh Hatcher di Amsterdam senilai 17 juta dolar AS, dan negara tidak dapat apa-apa waktu itu,” ungkap Helmi.
Contoh lainnya adalah pengangkatan kapal karam di situs Batu Hitam, Belitung, pada tahun 1998 yang menghasilkan puluhan ribu artefak yang terdiri dari berbagai jenis keramik masa Dinasti Tang dan benda-benda lain yang berupa logam, kaca, kayu, dan gading. Seluruh artefak tersebut dilelang senilai 32 juta dolar AS.
Barang-barang itu dibeli oleh perusahaan Singapura bernama Sentosa Development Corporation. “Tapi juga pemerintah Indonesia Indonesia juga tidak mendapatkan bagian yang signifikan dari pengangkatan ini,” kata Helmi. “Ini katanya pengangkatannya legal, tapi membawanya ke Singapura yang ilegal.”
Baca Juga: Menelusuri Kapal Perang Dunia II Belanda yang Terbenam di Laut Jawa
Contoh berikutnya adalah pengangkatan kapal Tek Sing di Selat Gelasa di perairan Bangka Belitung pada tahun 1999. “Pengangkatan Tek Sing ini juga dilakukan secara ilegal. Katanya memang ada izin, tapi diduga palsu. Itu juga dilakukan oleh Michael Hatcher. Tahu-tahu benda (hasil pengangkatan) tersebut sudah berada di Australia sebanyak 43 kontainer.
Dari 43 kontainer ini, hanya 36 kontainer yang kemudian dibawa ke Nagel, Stuttgart, Jerman, untuk dilelang. Dari pengangkatan dan lelang ini pemerintah Indonesia hanya mendapat 1.400 jenis keramik dan uang sebesar Rp4,2 miliar. “Berita terakhir saya dengar 7 kontainer lain masih ada di Australia. Nah ini kok nggak diurus?” ujar Helmi.
Pengangkatan BMKT lainnya pernah dilakukan di perairan utara Cirebon pada 2004. Benda-benda-benda yang ditemukan tersebut berasal dari kapal yang diperkirakan beroperasi pada abad ke-10. Dari reruntuhan kapal tersebut, ada sekitar 5.000 jenis keramik dan beberapa benda lainnya yang terbuat dari emas, perak, perunggu, besi, kayu, gading, dan timah yang berhasil diangkat. Jenis keramik yang ditemukan itu berasal dari masa pemerintahan Five Dynasties yang memerintah Tiongkok pada abad ke-10.
Hasil pengangkatan dari perairan Cirebon ini baru sempat dilelang di dalam negeri namun tidak laku. Hasill pengangkatan ini belum sempat dibawa ke luar negeri karena didahului dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Undang-Undang ini berisi larangan untuk membawa cagar budaya bawah air (CBBA) dari Indonesia ke luar negeri.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa cagar budaya adalah benda hasil ciptaan manusia yang di balik benda tersebut tersimpan gagasan dan nilai budaya, perilaku dan organisasi sosial, serta teknologi dan lingkungan masyarakat masa lalu yang membuat dan memakainya. Jadi, BMKT yang berada di bawa perairan Indonesia juga termasuk cagar budaya. Akhirnya, benda-benda hasil pengangkatan di Cirebon itu dibagi dua: sebagian jadi milik investor yang membantu pengangkatan tersebut, sebagian jadi milik pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Sampai tahun 2015, kegiatan pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia masih termasuk ke dalam bidang usaha yang terbuka untuk investor. Para investor dari dalam maupun luar negeri dapat mengajukan izin kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pencarian kapal karam dan muatannya di wilayah perairan negeri ini.
Pada tahun 2016, melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa pengangkatan BMKT tertutup untuk bidang investasi. Bahkan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada waktu itu juga memoratorium atau menghentikan pengeluaran semua izin pengangkatan BMKT.
Adapun kini, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, kesempatan bagi para investor, termasuk investor asing, untuk mencari BMKT di wilayah perairan Indonesia menjadi terbuka kembali. Izin pengangkatan BMKT ini tidak lagi melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan memang betul ada kecenderungan untuk mereduksi benda cagar budaya bawah air ini sebagai barang komoditi belaka. “Sebetulnya, secara legal, secara hukum, nggak ada yang salah dengan menjual-belikannya. Tapi kalau kemudian semata-mata ini disamakan dengan barang komoditi lain pada umumnya, tentu itu sangat disayangkan. Dan jelas itu bukan tujuan utamanya,” ujar Farid.
Farid menyatakan seharusnya tujuan utama pengangkatan BMKT “bukan untuk jual-belinya terlebih dulu, tapi untuk memanfaatkannya demi kepentingan kebudayaan.” Namun ia juga memahami bila para investor tentu tidak akan mau membiayai pengangkatan kalau mereka tak boleh membawa hasil pengangkatannya ke luar negeri untuk dilelang.
Menurut catatan Farid, pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia terakhir kali dilakukan pada tahun 2009. “Setelah itu tidak ada lagi,” katanya.
Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika
Data dari BRKP menyebut ada 463 kapal kuno yang karam di wilayah perairan Indonesia sekitar tahun 1508-1878. Dari jumlah itu, baru 10 titik yang sudah dilakukan pengangkatan. Kesepuluh titik tersebut berada di perairan Blanakan (Subang), Buaya Wreck (Batam), Karang Cina (Kepulauan Seribu), Intan Cargo Selat Gelasa (Bangka Belitung), Cirebon, Teluk Sumpat (Tanjungpinang), Karang Heliputan (Tanjung Pinang), Karawang, Belitung Timur, dan Jepara.
Belum adanya lagi upaya pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia bukanlah sesuatu yang bagus. Sebab, nasib kapal-kapal karam dan muatannya itu akan ditentukan oleh waktu juga. Surya Helmi mengatakan, “CBBA kalau dibiarkan terus menerus berada di bawah permukaan air (terutama laut), perlahan-lahan juga akan habis atau hilang, baik karena proses alam maupun dicuri atau diambil secara ilegal oleh pemburu harta karun.”
Sementara kalau hanya mengandalkan pemerintah untuk kegiatan pengangkatan ini, tentu “akan terkendala dengan dana dan SDM.” Sebab, Helmi menegaskan, kegiatan pelestarian CBBA ini membutuhkan pendanaan yang besar dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang tinggi dan khusus.
Kepada National Geographic Indonesia, arkeolog maritim di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo juga mengatakan bahwa keberadaan "benda cagar budaya bawah air merupakan dilema". Pemerintah pasti akan butuh dana yang besar untuk menjaga lokasi-lokasi cagar budaya bawah air di seluruh Indonesia. Namun bila kita kembali membolehkan investor untuk mengangkatnya, pengalaman membuktikan bahwa kita seringkali "dicurangi" dan "dirugikan."
Perihal pengangkatan kapal karam dan muatannya yang sudah ditetapkan oleh Perpres No.10/2021 sebagai bidang usaha yang terbuka sehingga menyiratkan bahwa investor asing kembali diperbolehkan untuk melakukan pengangkatan kapal, Helmi mengimbau seyogyanya pemberian izin tersebut harus datang dari kementerian yang berwenang terhadap pelestarian CBBA. Jadi, pelaksanaan survei dan pengangkatan harus sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologi sesuai Undang-Undang Cagar Budaya.
“Harus ada regulasi yang tegas dalam hal pemanfaatan CBBA hasil pengangkatan. Hasil pengangkatan yang dianggap bernilai untuk ilmu pengetahuan dan sejarah harus dimiliki oleh negara,” tegasnya.
Bambang Budi Utomo juga menyatakan perlunya aturan turunan yang rinci dan tegas mengenai izin pengangkatan barang muatan kapal tenggelam di Indonesia ini. "Solusinya, investor yang mengambil itu harus menyertakan arkeolog. Karena untuk penelitian underwater archeology (arkeologi bawah air) itu perlu biaya yang besar," kata Bambang kepada National Geographic Indonesia pada Senin (15/3/2021).
"Mungkin begitu jalan tengahnya. Investor (bisa melakukan pengangkatan) ke laut, ada arkeolognya juga yang menyertai di situ sehingga dapat pengetahuan arkeologi," ujarnya.
Jadi, perlu adanya jaminan penelitian arkeologi dalam setiap upaya pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia. Selain itu, pemerintah juga tetap perlu memiliki kewenangan untuk memilih dan memiliki 10% benda-benda yang paling berharga secara arkeologi dari hasil pengangkatan tersebut. Harapannya, pengetahuan dan nilai sejarah serta budaya yang ada pada setiap cagar budaya bawah air di Indonesia ini tidaklah hilang begitu saja setiap kali diangkat dan dimiliki sebagiannya oleh investor.
Bambang menegaskan, setiap BMKT harus dianggap sebagai cagar budaya dan juga diteliti karena mengandung pengetahuan sejarah kebudayaan Indonesia. "Hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan pihak di luar Nusantara ada di barang-barang itu," tutur Bambang mencontohkan.
Keberadaan barang keramik misalnya menunjukkan adanya hubungan dagang antara kerajaaan di Nusantara dengan Tiongkok. Sementara arca berlanggam seni India menunjukkan hubungan antara kerajaan di Nusantara dengan India. "Jadi bagaimanapun barang-barang itu mengandung nilai sejarah dan budaya Indonesia," tegas Bambang.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR