Nationalgeographic.co.id—Ikan kakap dan kerapu merupakan jenis hewan laut sering masyarakat Indonesia konsumsi. Seperti ayam, ikan-ikan ini tampaknya tidak pernah habis karena setiap hari selalu dijual di pasar dan terhidang di meja makan orang Indonesia.
Namun sebuah studi terbaru mengkhawatirkan keberlangsungan ikan-ikan itu di Laut Jawa-Selat Makassar. Studi baru itu mengusulkan pembentukan kawasan perlindungan laut (Marine Protected Area/MPA) di wilayah Laut Jawa-Selat Makassar untuk mencegah penangkapan ikan kakap dan kerapu di wilayah tersebut.
Para peneliti dalam studi ini menemukan bahwa sebagian besar spesies ikan kakap dan kerapu yang secara komersial ditangkap di perairan dangkal itu adalah ikan-ikan muda. Penangkapan ugal-ugalan ini mereka anggap akan membahayakan keberlanjutan populasi spesies dan perikanan kakap dan kerapu yang memiliki nilai sekitar 500 juta dolar AS.
Perikanan kakap dan kerapu Indonesia, bersama-sama disebut "perikanan demersal lereng dalam", adalah salah satu perikanan paling berharga di negara ini. Perikanan ini mencakup lebih dari seratus spesies ikan, antara lain kakap putih (Pristipomoides typus), kerapu areolat (Epinephelus areolatus), dan satu spesies ikan kakap merah yang disebut kakap pelana (Lutjanus malabaricus).
Kakap dan kerapu dewasa hidup setidaknya 50 meter di bawah permukaan laut, dan terkadang ratusan meter, tergantung pada spesiesnya. Kehidupan di kedalaman ini membuat mereka dinamakan sebagai perikanan demersal lereng dalam.
Yang menarik adalah ikan-ikan remaja dari spesies-spesies ini berperilaku berbeda dan cenderung berkumpul di laut yang lebih dangkal dibandingkan ikan-ikan dewasa. Misalnya, kakap pelana menghuni perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter saat mereka masih muda, dan berpindah ke perairan yang jauh lebih dalam, setidaknya 140 meter, saat dewasa.
Baca Juga: Fosil Ikan Purba Ditemukan, Bentuknya Mirip Hiu Bersirip Pari Manta
Melindungi ikan-ikan yang belum dewasa adalah kunci untuk menjaga kelestarian perikanan dalam jangka panjang. Menangkap ikan remaja sebelum dewasa tidak hanya menghilangkannya dari populasi, tetapi juga semua keturunannya di masa depan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan populasi dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Conservation Science and Practice ini menyarankan bahwa penetapan kawasan perlindungan laut (KPL) dapat menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan pengelolaan perikanan demersal lereng dalam. Studi ini secara spesifik menyarankan wilayah Laut Jawa-Selat Makassar, tempat sebagian besar ikan-ikan remaja itu ditangkap, untuk jadi kawasan prioritas untuk dilindungi.
Dalam studi ini, Elle Wibisono, Anggota Knauss Marine Policy di Senat AS, dan rekan-rekan penelitinya mengumpulkan data tentang spesies, jumlah, dan ukuran ikan yang ditangkap oleh para nelayan di 384 kapal di seluruh Indonesia. Studi ini ditempuh melalui kemitraan dengan The Nature Conservancy. Para kapten kapal diberikan sejumlah gaji bulanan sebagai imbalan atas partisipasi mereka dalam proyek tersebut.
Dengan imbalan tertentu, para peneliti meminta nelayan untuk memotret setiap tangkapan ikan mereka di papan datar dengan skala pengukuran. Pelacak GPS juga dipasang di kapal-kapal mereka. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk melacak berapa banyak ikan remaja yang belum dewasa ditangkap para nelayan dan di mana saja lokasi penangkapan tersebut.
Dengan informasi ini, para peneliti kemudian mengidentifikasi beberapa "hotspot" penangkapan ikan yang belum dewasa. Mereka mendefinisikannya sebagai daerah dengan 75 persen tangkapan ikannya merupakan ikan yang masih muda. Salah satu hotspot yang mereka identifikasi itu adalah kawasan Laut Jawa-Selat Makassar.
"Model-model itu menguatkan apa yang sudah kami duga," kata Wibisono sebagaimana dilansir Mongabay.
Baca Juga: Dianggap Punah 170 Tahun Lalu, Burung Pelanduk Kalimantan Muncul Lagi
Laut Jawa-Selat Makassar merupakan perairan yang relatif dangkal sehingga disukai oleh ikan kakap dan kerapu remaja. Namun di sisi lain, selama ini daerah tersebut merupakan zona komersial dan penangkapan ikan yang penting.
Pakar pengelolaan perikanan Abdul Halim, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa melindungi perikanan demersal lereng dalam melalui sistem KPL Indonesia merupakan ide yang menarik. Dia setuju bahwa pendekatan tersebut dapat membentuk sistem pemantauan untuk ukuran ikan yang ditangkap.
Namun, menurutnya, hal itu bisa menjadi jalan yang sulit. “Tata kelola sumber daya alam di Indonesia agak unik, sumber daya alam yang hidup di lautan berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tapi pengelolaan perikanan dan kawasan konservasi berada di bawah dua subdivisi yang berbeda,” jelasnya.
Menjembatani kesenjangan antara dua bagian KKP ini dan merekonsiliasi peraturan pemerintah untuk mengelola daerah penangkapan ikan sebagai kawasan konservasi dapat menjadi tantangan birokrasi dan hukum yang berat.
Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara
Halim menyarankan opsi lain untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan kakap dan kerapu muda di wilayah Laut Jawa-Selat Makassar, yakni dengan menerapkan musim tutup tahunan. Hal semacam ini, misalnya, pernah dilakukan pemerintah Indonesia untuk melindungi keberlangsungan tuna sirip kuning di Laut Banda. Pada tahun 2015, KKP telah memutuskan untuk menutup wilayah Laut Banda seluas 130.000 kilometer persegi selama tiga bulan per tahun setelah mendapat laporan bahwa keberlangsungan tuna sirip kuning itu terancam.
“Itu bisa menjadi model” untuk mengelola perikanan demersal lereng dalam, kata Halim, jika ditegakkan dengan baik. Mengingat tantangan potensial dalam menciptakan KPL untuk melindungi perikanan. “Melihat beberapa opsi lain, juga, sangat berharga untuk mengatasi masalah penangkapan ikan yang belum dewasa.”
Terlepas dari pilihan mana yang akhirnya dipilih oleh pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengelola perikanan kakap dan kerapu ini, tampaknya itu akan perlu waktu lama untuk dieksekusi. Jawaban untuk sementara, kata Wibisono, adalah mengedukasi para nelayan untuk bisa membedakan antara mana ikan kakap dan kerapu yang masih mudah dan sudah dewasa.
Selain itu, Wibisono dan rekan-rekan penelitinya juga menyerukan perubahan dalam perilaku konsumen. Mereka mencatat bahwa keinginan konsumen untuk terus menyantap semua bagian tubuh ikan kakap secara utuh di piring adalah pendorong penangkapan atas ikan-ikan remaja tersebut.
“Sebagian besar (ikan) ditangkap ketika mereka masih remaja agar mereka (secara utuh) muat di piring,” kata Wibisono. “Sebagian besar dorongan untuk menangkap spesies ikan ini didasarkan pada preferensi konsumen," ujarnya.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | Mongabay.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR