Ia juga mengikatkan seuntai janur kuning di beberapa tiang besi yang berdiri tegak di lapangan Lokajaya di Desa Lomanis, Cilacap Tengah, Cilacap, Jawa Tengah. Kasirin membentengi tempat pentas itu dengan pagar gaib. “Kalau tidak dibatasi, pembarong bisa melabrak tiang besi,” ujarnya. “Barongan bisa pecah.”
Di antara keramaian pengunjung, saya mendekati Manislam di tepi lapangan. Dari saku bajunya yang serba hitam, ia merogoh sebotol minyak wangi. Ia menorehkan setetes minyak wangi di dahi cucunya. Dalam pelukan sang ibunda, bayi empat bulan itu tak hirau. Ia terlelap. “Ini jam-jam rawan, agar cucu selamat,” kata lelaki bermata elang itu. Beberapa penonton berjabat tangan dengan Manislam, lalu meminta sepercik minyak wangi atau seuntai kembang. Demi keselamatan.
Sang surya kian mendekati tengah hari. Musik tak lekang membahana. Penonton merapat. Para penari ebeg telah bersimpuh sembari menunggang kuda lumping. Mereka menanti pergelaran dibuka.
Kasirin berdiri kokoh di tengah kalangan pentas. Ia menatap lekat para penari. Sejurus kemudian, lelaki berbadan tegap itu membelah udara dengan cemetinya. Cetar… cetar…!
Lengkingan cemeti menembus hulu telinga. Suaranya merambat di udara yang pengap. Cemeti Kasirin kembali menusuk: cetar… cetar…! Lecutan terakhir itu menandai derap pertama para penunggang kuda lumping. Umarmaya berada di ujung depan barisan. Bergerak cekatan membelah lapangan, enam penari mengikuti Umarmaya.
Tarian Bayangkara itu menggambarkan gerak laju pasukan berkuda. Bagaikan seorang komandan, Umarmaya menguasai pentas.
Berdiri di tepian pentas, Kasirin mengawasi para wayang yang menari. Para pejoget bergerak serentak seiring musik yang menggelora. Tarian Bayangkara itu menggambarkan gerak laju pasukan berkuda. Bagaikan seorang komandan, Umarmaya menguasai pentas. Ia menyisir satu-satu penunggang kuda lumping yang bersimpuh membeku. Gerak kaki Umarmaya kadang menderap, kadang mencongklang: bagaikan langkah-langkah turangga di medan laga. Umarmaya mendekati setiap prajurit. Bersalaman.
Mendekati akhir pergelaran, para pemain kuda kepang berbaju cerah itu menderap kompak. Di barisan belakang, dua lelaki bertopeng Pentul dan Tembem menari jenaka. “Dua penari itu disebut cepet untuk candaan,” ujar Kasirin.
Seiring ebeg yang bergemuruh, para penonton memasrahkan sepeda motornya kepada teknisi: membersihkan ruang mesin dari oli lama, dan mengganti yang baru. Di sela pertunjukan ebeg, beberapa orang menuntun sepeda motornya untuk diganti pelumasnya. Pada hari Ahad itu, lima hari menjelang Natal 2015, sembari menonton ebeg, penonton berkesempatan mengganti oli dengan layanan gratis. Pelumasnya juga murah. “Ya, sambil melestarikan kesenian tradisional, kita ingin masyarakat tahu ada pabrik pelumas di Cilacap,” tutur Agus Mahyudin, Manajer PT Pertamina Lubricants Production Unit Cilacap.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR