Kesenian khas tlatah Banyumasan—Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Banyumas—ini sedang bangkit setelah tenggelam dalam kemajuan zaman. Kasirin menuturkan, semenjak Malaysia mendaku reog Ponorogo, para seniman kuda lumping di Cilacap ingin membangkitkan ebeg. “Sejak ada klaim Malaysia, kita semakin bersemangat menghidupkan ebeg,” tutur Kasirin.
Di desa Lomanis semula ada dua grup ebeg. Lantas satu grup tutup pelan-pelan. Setelah itu, Kasirin mendirikan kelompok Sekar Asih Turangga Seta. “Satu grup yang sempat tutup sekarang aktif lagi. Di Lomanis sekarang ada tiga grup, sedangkan di Cilacap ada puluhan.”
Pementasan biasa dimulai pukul 11 sampai jelang magrib. Kendati begitu, kesenian rakyat ini tak punya pakem waktu pergelaran. “Bisa saja dimulai pagi hari. Tapi untuk menghormati orang-orang yang masih bekerja, pertunjukan dimulai pukul 11. Kalau siang, banyak orang sudah selesai bekerja dan bisa menonton,” Kasirin memaparkan. Sebelum ada aturan pemerintah daerah, pementasan kerap sampai malam hari. Namun kini pertunjukan ebeg hanya sampai magrib.
Ebeg berasal dari kata ebleg yang berarti anyaman bambu untuk bahan kuda kepang. Di daerah lain, ebeg punya sebutan berbeda.
Ebeg berasal dari kata ebleg yang berarti anyaman bambu untuk bahan kuda kepang. Di daerah lain, ebeg punya sebutan berbeda. Di Yogyakarta disebut jatilan, ada juga yang menyebut jaran kepang, kuda lumping atau jaranan.
Pentas ebeg dipimpin oleh seorang penimbul atau pawang. Di Turangga Seta, penimbul diemban oleh Kasirin, yang sekaligus ketua paguyuban. Para penari kuda lumping disebut wayang, berjumlah tujuh orang, ditambah dua orang cepet yang berpolah jenaka di belakang barisan wayang.
Untuk iringan musik, ebeg dilengkapi peniup trompet, penampar kendang, penabuh gong pamungkas, pemukul kempul ataupun saron. Di tengah-tengah niyaga, seorang sinden melantunkan tembang-tembang Jawa.
Ebeg dipandang sebagai kreasi Sunan Kalijaga untuk menyiarkan agama Islam. “Dulu tidak mudah mengumpulkan orang. Untuk itu, Sunan Kalijaga menciptakan wayang kulit, ebeg, dan kesenian lain. Maksudnya agar orang mau berkumpul,” terang Sandaman, sesepuh ebeg Cilacap.
Selain itu, ada versi lain tentang asal mula ebeg. Sebagian seniman berpendapat bahwa imaji ebeg berakar dari perjuangan pasukan berkuda Pangeran Dipanegara dalam melawan penjajah Belanda.
Sandaman telah menggeluti ebeg sejak usia 15 tahun—seputar tahun 1963. Dia generasi kesembilan yang mewarisi ebeg dari trah leluhurnya. Paguyubannya bernama Renggo Manis Utama. “Jumlah wayang di kelompok saya ada sembilan orang. Jumlah ini, selain sebagai keturunan ke sembilan, juga melambangkan Walisanga,” jelasnya.
Wayang ebeg lazim berjumlah ganjil. Bisa tujuh, sembilan, bahkan limabelas orang. “Satu orang sebagai Umarmaya yang berada di depan sebagai pemimpin,” ujar Sandaman di rumahnya di Kebonmanis, Cilacap Utara.
Ia adalah saksi hidup pasang-surut kesenian ebeg di Cilacap. Selama kurun 1960-an hingga 1980-an adalah zaman keemasan ebeg. Pada masa itu, Sandaman bersama kelompoknya nyaris setiap hari menggelar pementasan. “Jaya-jayanya itu, sampai tidak ada waktu untuk yang lain.”
Hari-hari ini, dalam wawasan Sandaman, ebeg sedang dalam gempuran zaman. “Ya, karena banyak hiburan yang lebih murah, seperti dangdut dan orjen tunggal. Pada masa sekarang, ebeg saya yang pasti hanya pentas sekali setahun untuk mengiringi sedekah laut. Selebihnya tidak pasti, karena memang rombongan ebeg juga banyak sekali, sih. Satu kelurahan bisa ada dua sampai tiga kelompok,” papar Sandaman yang tahun ini sempat pentas tiga kali.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR