Saya tidak mengerti: Apa beda indang dan kesurupan? Momen yang centang-perenang itu mengendap dalam benak saya. Apa yang terjadi? Bagi saya, semua pejoget itu kesurupan.
indang adalah suasana batin yang bergelimang rasa senang. “Indang terjadi karena saking senangnya. Kebangetan senangnya sehingga lupa diri. Gimana coba kalau senangnya sudah sampai merasuk di hati,” jelas Sandaman sembari meraba dada kirinya.
Sandaman mengingatkan bahwa ebeg adalah kesenian yang diciptakan untuk syiar Islam. “Jadi semestinya tidak ada lagi yang pro dan kontra terhadap ebeg,” imbuhnya. Yang pro adalah mereka yang menyukai dan melestarikan ebeg, sementara yang kontra adalah mereka yang memandang ebeg musyrik. “Itu sebenarnya indang, saking banget senangnya. Bukan kerasukan setan,” tegasnya sekali lagi.
Lantas bagaimana dengan fenomena kesurupan? “Memang ada, karena manusia punya badan alus dan badan kasar. Wayang bisa kesurupan, tapi yang gaib tidak bisa membawa raga selajur.” ‘Yang datang’ pun akan meminta izin mau masuk ataupun keluar kepada penimbul. Dan ‘yang datang’ biasa memberikan saran atau meminta-minta apa saja. “Tapi yang masuk bukan setan,” jelas Sandaman. Sebagai sesepuh, dia telah melakoni berbagai pengalaman dalam kesenian ebeg. “Saya tahu karena sudah menjalani semuanya.”
Dengan pengalaman 50 tahun lebih, Sandaman mensyaratkan kesantunan atau trapsusila dalam berkesenian ebeg. Pada zaman modern ini, trapsusila wayang telah luntur. “Punten ya, wayang sekarang gondrong-gondrong, bertato, dan tindikan. Rekasa anak-anak sekarang. Anak-anak dulu mandiri, trapsusila-nya juga bagus.”
Sandaman agaknya membaca gelagat zaman. Pada masa sekarang, tak sedikit anak muda yang suka indang tapi tanpa dibekali trapsusila. Lantaran itu, dia punya tiga syarat di paguyubannya. “Satu, tidak boleh minum minuman keras. Kedua, tidak boleh bertato dan gondrong. Dan ketiga, tidak boleh memakai tindik seperti perempuan. Kesenian ebeg ini untuk tontonan dan tuntunan.”
Dwi Putra Nugroho melengking. Matanya mendelik. Mulutnya menganga seakan ingin mencaplok angkasa. Para penimbul memegangi Dwi erat-erat. Tubuhnya menegang. Sendi-sendinya kaku. Yang gaib berontak: enggan keluar dari badan Dwi.
Namun usapan telapak Kasirin di mata Dwi membasuh yang gaib melejit dari tubuhnya. Dwi melolong panjang. Para penimbul menepuki persendian wayang berbadan besar ini. Kini Dwi sadar, dan terduduk lemas di sudut pentas.
Seluruh wayang yang indang menatap Kasirin dan pembantunya. Yang gaib tahu: inilah saatnya berpamitan. Tapi ada juga yang keras kepala. Beberapa wayang berputar-putar menghindari tatapan penimbul. Rupanya yang ‘tak-kasatmata’ enggan meninggalkan badan kasar.
Satu demi satu, wayang dan penonton yang indang mengantre di depan Kasirin. Lantas, ia bersama para pendampingnya menyadarkan kembali para pemain yang kesurupan. Tak ada yang balela, tak ada yang aneh-aneh. Mendung tebal menggantung di langit. Gamelan terus berdentam. Langit Cilacap memberkahi usainya pertunjukan ebeg itu dengan rinai hujan.
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Sihir Magi Ebeg pada 29 Februari 2016.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR