Cerita oleh Agus Prijono
Nationalgeographic.co.id—Asap muram dari bara dupa itu mengambang di udara yang hangat. Aroma magi menguar di sela hentakan kendang, dengung gong, dan lengkingan trompet. Seirama alunan gamelan, sinden bersuara sopran mendendangkan tembang-tembang Jawa.
Sudah dari tadi, para niyaga menabuh gamelan bertalu-talu. Namun pergelaran ebeg itu belum juga dibuka.
Sang penimbul ebeg bersama para pendampingnya masih menata sesajian. Penimbul diemban oleh Kasirin, didampingi Manislam dan Sansuparno. Mereka-lah yang bakal mengendalikan pementasan.
Sembari menggenggam segepok dupa yang membara, Manislam tekun merapikan aneka sesajian. Lelaki bermisai lebat itu menata kelapa hijau, air teh, minyak wangi, dan bunga tiga warna: kenanga, kantil, dan mawar.
“Kalau tidak dibatasi, pembarong bisa melabrak tiang besi,” ujarnya. “Barongan bisa pecah.”
Sesajian ini perkara serius. Satu jenis sajian saja luput, pertunjukan bisa rawan. Bahkan demi sesaji yang sempurna, Kasirin seringkali mengeluarkan biaya besar. “Takutnya nanti ada apa-apa,” katanya.
Seberapa penting, sih? Saya mengikuti Kasirin. Ia memasang sekuntum bunga kantil di rambut barongan. Ada delapan barongan; satu barong, satu bunga. “Itu kesukaannya,” katanya.
Ia juga mengikatkan seuntai janur kuning di beberapa tiang besi yang berdiri tegak di lapangan Lokajaya di Desa Lomanis, Cilacap Tengah, Cilacap, Jawa Tengah. Kasirin membentengi tempat pentas itu dengan pagar gaib. “Kalau tidak dibatasi, pembarong bisa melabrak tiang besi,” ujarnya. “Barongan bisa pecah.”
Di antara keramaian pengunjung, saya mendekati Manislam di tepi lapangan. Dari saku bajunya yang serba hitam, ia merogoh sebotol minyak wangi. Ia menorehkan setetes minyak wangi di dahi cucunya. Dalam pelukan sang ibunda, bayi empat bulan itu tak hirau. Ia terlelap. “Ini jam-jam rawan, agar cucu selamat,” kata lelaki bermata elang itu. Beberapa penonton berjabat tangan dengan Manislam, lalu meminta sepercik minyak wangi atau seuntai kembang. Demi keselamatan.
Sang surya kian mendekati tengah hari. Musik tak lekang membahana. Penonton merapat. Para penari ebeg telah bersimpuh sembari menunggang kuda lumping. Mereka menanti pergelaran dibuka.
Kasirin berdiri kokoh di tengah kalangan pentas. Ia menatap lekat para penari. Sejurus kemudian, lelaki berbadan tegap itu membelah udara dengan cemetinya. Cetar… cetar…!
Lengkingan cemeti menembus hulu telinga. Suaranya merambat di udara yang pengap. Cemeti Kasirin kembali menusuk: cetar… cetar…! Lecutan terakhir itu menandai derap pertama para penunggang kuda lumping. Umarmaya berada di ujung depan barisan. Bergerak cekatan membelah lapangan, enam penari mengikuti Umarmaya.
Tarian Bayangkara itu menggambarkan gerak laju pasukan berkuda. Bagaikan seorang komandan, Umarmaya menguasai pentas.
Berdiri di tepian pentas, Kasirin mengawasi para wayang yang menari. Para pejoget bergerak serentak seiring musik yang menggelora. Tarian Bayangkara itu menggambarkan gerak laju pasukan berkuda. Bagaikan seorang komandan, Umarmaya menguasai pentas. Ia menyisir satu-satu penunggang kuda lumping yang bersimpuh membeku. Gerak kaki Umarmaya kadang menderap, kadang mencongklang: bagaikan langkah-langkah turangga di medan laga. Umarmaya mendekati setiap prajurit. Bersalaman.
Mendekati akhir pergelaran, para pemain kuda kepang berbaju cerah itu menderap kompak. Di barisan belakang, dua lelaki bertopeng Pentul dan Tembem menari jenaka. “Dua penari itu disebut cepet untuk candaan,” ujar Kasirin.
Seiring ebeg yang bergemuruh, para penonton memasrahkan sepeda motornya kepada teknisi: membersihkan ruang mesin dari oli lama, dan mengganti yang baru. Di sela pertunjukan ebeg, beberapa orang menuntun sepeda motornya untuk diganti pelumasnya. Pada hari Ahad itu, lima hari menjelang Natal 2015, sembari menonton ebeg, penonton berkesempatan mengganti oli dengan layanan gratis. Pelumasnya juga murah. “Ya, sambil melestarikan kesenian tradisional, kita ingin masyarakat tahu ada pabrik pelumas di Cilacap,” tutur Agus Mahyudin, Manajer PT Pertamina Lubricants Production Unit Cilacap.
Kesenian khas tlatah Banyumasan—Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Banyumas—ini sedang bangkit setelah tenggelam dalam kemajuan zaman. Kasirin menuturkan, semenjak Malaysia mendaku reog Ponorogo, para seniman kuda lumping di Cilacap ingin membangkitkan ebeg. “Sejak ada klaim Malaysia, kita semakin bersemangat menghidupkan ebeg,” tutur Kasirin.
Di desa Lomanis semula ada dua grup ebeg. Lantas satu grup tutup pelan-pelan. Setelah itu, Kasirin mendirikan kelompok Sekar Asih Turangga Seta. “Satu grup yang sempat tutup sekarang aktif lagi. Di Lomanis sekarang ada tiga grup, sedangkan di Cilacap ada puluhan.”
Pementasan biasa dimulai pukul 11 sampai jelang magrib. Kendati begitu, kesenian rakyat ini tak punya pakem waktu pergelaran. “Bisa saja dimulai pagi hari. Tapi untuk menghormati orang-orang yang masih bekerja, pertunjukan dimulai pukul 11. Kalau siang, banyak orang sudah selesai bekerja dan bisa menonton,” Kasirin memaparkan. Sebelum ada aturan pemerintah daerah, pementasan kerap sampai malam hari. Namun kini pertunjukan ebeg hanya sampai magrib.
Ebeg berasal dari kata ebleg yang berarti anyaman bambu untuk bahan kuda kepang. Di daerah lain, ebeg punya sebutan berbeda.
Ebeg berasal dari kata ebleg yang berarti anyaman bambu untuk bahan kuda kepang. Di daerah lain, ebeg punya sebutan berbeda. Di Yogyakarta disebut jatilan, ada juga yang menyebut jaran kepang, kuda lumping atau jaranan.
Pentas ebeg dipimpin oleh seorang penimbul atau pawang. Di Turangga Seta, penimbul diemban oleh Kasirin, yang sekaligus ketua paguyuban. Para penari kuda lumping disebut wayang, berjumlah tujuh orang, ditambah dua orang cepet yang berpolah jenaka di belakang barisan wayang.
Untuk iringan musik, ebeg dilengkapi peniup trompet, penampar kendang, penabuh gong pamungkas, pemukul kempul ataupun saron. Di tengah-tengah niyaga, seorang sinden melantunkan tembang-tembang Jawa.
Ebeg dipandang sebagai kreasi Sunan Kalijaga untuk menyiarkan agama Islam. “Dulu tidak mudah mengumpulkan orang. Untuk itu, Sunan Kalijaga menciptakan wayang kulit, ebeg, dan kesenian lain. Maksudnya agar orang mau berkumpul,” terang Sandaman, sesepuh ebeg Cilacap.
Selain itu, ada versi lain tentang asal mula ebeg. Sebagian seniman berpendapat bahwa imaji ebeg berakar dari perjuangan pasukan berkuda Pangeran Dipanegara dalam melawan penjajah Belanda.
Sandaman telah menggeluti ebeg sejak usia 15 tahun—seputar tahun 1963. Dia generasi kesembilan yang mewarisi ebeg dari trah leluhurnya. Paguyubannya bernama Renggo Manis Utama. “Jumlah wayang di kelompok saya ada sembilan orang. Jumlah ini, selain sebagai keturunan ke sembilan, juga melambangkan Walisanga,” jelasnya.
Wayang ebeg lazim berjumlah ganjil. Bisa tujuh, sembilan, bahkan limabelas orang. “Satu orang sebagai Umarmaya yang berada di depan sebagai pemimpin,” ujar Sandaman di rumahnya di Kebonmanis, Cilacap Utara.
Ia adalah saksi hidup pasang-surut kesenian ebeg di Cilacap. Selama kurun 1960-an hingga 1980-an adalah zaman keemasan ebeg. Pada masa itu, Sandaman bersama kelompoknya nyaris setiap hari menggelar pementasan. “Jaya-jayanya itu, sampai tidak ada waktu untuk yang lain.”
Hari-hari ini, dalam wawasan Sandaman, ebeg sedang dalam gempuran zaman. “Ya, karena banyak hiburan yang lebih murah, seperti dangdut dan orjen tunggal. Pada masa sekarang, ebeg saya yang pasti hanya pentas sekali setahun untuk mengiringi sedekah laut. Selebihnya tidak pasti, karena memang rombongan ebeg juga banyak sekali, sih. Satu kelurahan bisa ada dua sampai tiga kelompok,” papar Sandaman yang tahun ini sempat pentas tiga kali.
Matahari terus bergeser ke barat. Selepas zuhur, Kasirin kembali ke medan pentas. Suara cemetinya sekali lagi menusuk telinga. Para penari, dengan wajah-wajah berias tebal, kembali ke ajang pergelaran. Pada babak kedua ini, mereka mementaskan tarian pedang. Ini tari kreasi baru. Penonton makin padat memagari lapangan. Babak kedua inilah yang ditunggu-tunggu pemirsa. Alunan musik dan tetembangan kian membahana.
Pada detik-detik terakhir, Kasirin berada di antara pejoget. Dalam detik-detik yang secepat kilat, lambaian tangan Kasirin menyentakkan aura gaib. Para pemain ebeg tersungkur. Ambruk! Atribut tarian rontok. Sebagian pejoget mencampakkan kuda lumping, sebagian yang lain makin memegang erat. Para wayang indang.
Kisruh! Kisruh!
Wayang kocar-kacir. Sejumlah penonton menghambur ke pentas. Mereka berebut barongan; menari dengan tatapan mata yang beku; mulut komat-kamit menguyah udara. Tubuh-tubuh menegang. Dalam khazanah ebeg, momen ini disebut janturan.
“Setelah diizinkan penimbul, penonton yang indang bisa ikut pentas. Kalau tidak, ia tidak akan masuk kalangan. Karena sudah indang, ia bisa saja kesurupan. Sebenarnya penonton ikut indang hanya ingin menghormati pementasan.”
Inilah momen yang ‘tak-kasatmata’ bergabung dalam pergelaran. Manjing dalam wadag para wayang, yang liyan turut menari seirama musik. Atmosfer terasa ganjil: sorot mata nyalang, nyaris tanpa kedipan. Gerak tubuh penari tak lagi manusiawi.
Indang merasuki wayang dan beberapa penonton. Kendati di bawah kendali indang, tubuh-tubuh itu menari selaras irama gending.
Sejumlah penonton di sudut lapangan rupanya sontak kesurupan. Suasana di luar kendali. Kasirin menuturkan penonton yang telah punya indang bisa saja tertular kesurupan.
Indang merasuki wayang dan beberapa penonton. Kendati di bawah kendali indang, tubuh-tubuh itu menari selaras irama gending. Bahkan tarian para wayang lebih bertenaga. Seorang di antaranya menjoget lemah gemulai bak perempuan kenes.
Indang menyelimuti tubuh seorang wayang bernama Dwi Putra Nugroho. Sayangnya, indang menyusup tak sempurna. Kasirin bersama pendampingnya kelabakan. Para penimbul membungkusnya dengan selimut barongan. Penonton melihat kejadian itu dengan tatapan penuh tanya. Suasana mencekam mengapung di udara.
LIR ILIR, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira, kumitir bedah ing pinggir…
Sang sinden mendadak melantunkan Ilir-ilir, sebuah tembang lawas ciptaan Sunan Kalijaga. Tembang penuh makna dalam spiritualitas Islam Jawa itu semakin menegaskan kedekatan ebeg dengan sosok Sunan Kalijaga. Tanpa aba-aba, tanpa perintah, alunan Ilir-ilir menuntun para penari mengitari jasad Dwi yang terbungkus kain hitam itu.
Kala dendang Ilir-ilir mendekati akhir, Dwi bangkit dengan mata hampa. Seringainya dingin. Tubuhnya lebih berenergi. Remaja itu tak lagi manusiawi. Badan kasarnya masih milik Dwi, namun badan halusnya berisi wujud yang lain.
Irama gending menggelora. Penonton makin rapat mengelilingi para pemain ebeg. Matahari mendekati cakrawala barat, penonton yang turut menari menyesaki pentas. Mendem, semua mendem. Sambung-menyambung, indang menjalar dari orang ke orang lain yang menonton.
Inilah momen penimbul menjadi pengikat pergelaran. Para pemain menatap lekat kepada penimbul: berharap sejumput sesajen atau sepercik minyak wangi. Penimbul Kasirin, Manislam dan Sansuparno sibuk membagikan kembang, minyak wangi, dan sesajen kepada mereka yang wuru.
Saya tidak mengerti: Apa beda indang dan kesurupan? Momen yang centang-perenang itu mengendap dalam benak saya. Apa yang terjadi? Bagi saya, semua pejoget itu kesurupan.
indang adalah suasana batin yang bergelimang rasa senang. “Indang terjadi karena saking senangnya. Kebangetan senangnya sehingga lupa diri. Gimana coba kalau senangnya sudah sampai merasuk di hati,” jelas Sandaman sembari meraba dada kirinya.
Sandaman mengingatkan bahwa ebeg adalah kesenian yang diciptakan untuk syiar Islam. “Jadi semestinya tidak ada lagi yang pro dan kontra terhadap ebeg,” imbuhnya. Yang pro adalah mereka yang menyukai dan melestarikan ebeg, sementara yang kontra adalah mereka yang memandang ebeg musyrik. “Itu sebenarnya indang, saking banget senangnya. Bukan kerasukan setan,” tegasnya sekali lagi.
Lantas bagaimana dengan fenomena kesurupan? “Memang ada, karena manusia punya badan alus dan badan kasar. Wayang bisa kesurupan, tapi yang gaib tidak bisa membawa raga selajur.” ‘Yang datang’ pun akan meminta izin mau masuk ataupun keluar kepada penimbul. Dan ‘yang datang’ biasa memberikan saran atau meminta-minta apa saja. “Tapi yang masuk bukan setan,” jelas Sandaman. Sebagai sesepuh, dia telah melakoni berbagai pengalaman dalam kesenian ebeg. “Saya tahu karena sudah menjalani semuanya.”
Dengan pengalaman 50 tahun lebih, Sandaman mensyaratkan kesantunan atau trapsusila dalam berkesenian ebeg. Pada zaman modern ini, trapsusila wayang telah luntur. “Punten ya, wayang sekarang gondrong-gondrong, bertato, dan tindikan. Rekasa anak-anak sekarang. Anak-anak dulu mandiri, trapsusila-nya juga bagus.”
Sandaman agaknya membaca gelagat zaman. Pada masa sekarang, tak sedikit anak muda yang suka indang tapi tanpa dibekali trapsusila. Lantaran itu, dia punya tiga syarat di paguyubannya. “Satu, tidak boleh minum minuman keras. Kedua, tidak boleh bertato dan gondrong. Dan ketiga, tidak boleh memakai tindik seperti perempuan. Kesenian ebeg ini untuk tontonan dan tuntunan.”
Dwi Putra Nugroho melengking. Matanya mendelik. Mulutnya menganga seakan ingin mencaplok angkasa. Para penimbul memegangi Dwi erat-erat. Tubuhnya menegang. Sendi-sendinya kaku. Yang gaib berontak: enggan keluar dari badan Dwi.
Namun usapan telapak Kasirin di mata Dwi membasuh yang gaib melejit dari tubuhnya. Dwi melolong panjang. Para penimbul menepuki persendian wayang berbadan besar ini. Kini Dwi sadar, dan terduduk lemas di sudut pentas.
Seluruh wayang yang indang menatap Kasirin dan pembantunya. Yang gaib tahu: inilah saatnya berpamitan. Tapi ada juga yang keras kepala. Beberapa wayang berputar-putar menghindari tatapan penimbul. Rupanya yang ‘tak-kasatmata’ enggan meninggalkan badan kasar.
Satu demi satu, wayang dan penonton yang indang mengantre di depan Kasirin. Lantas, ia bersama para pendampingnya menyadarkan kembali para pemain yang kesurupan. Tak ada yang balela, tak ada yang aneh-aneh. Mendung tebal menggantung di langit. Gamelan terus berdentam. Langit Cilacap memberkahi usainya pertunjukan ebeg itu dengan rinai hujan.
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Sihir Magi Ebeg pada 29 Februari 2016.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR