Matahari terus bergeser ke barat. Selepas zuhur, Kasirin kembali ke medan pentas. Suara cemetinya sekali lagi menusuk telinga. Para penari, dengan wajah-wajah berias tebal, kembali ke ajang pergelaran. Pada babak kedua ini, mereka mementaskan tarian pedang. Ini tari kreasi baru. Penonton makin padat memagari lapangan. Babak kedua inilah yang ditunggu-tunggu pemirsa. Alunan musik dan tetembangan kian membahana.
Pada detik-detik terakhir, Kasirin berada di antara pejoget. Dalam detik-detik yang secepat kilat, lambaian tangan Kasirin menyentakkan aura gaib. Para pemain ebeg tersungkur. Ambruk! Atribut tarian rontok. Sebagian pejoget mencampakkan kuda lumping, sebagian yang lain makin memegang erat. Para wayang indang.
Kisruh! Kisruh!
Wayang kocar-kacir. Sejumlah penonton menghambur ke pentas. Mereka berebut barongan; menari dengan tatapan mata yang beku; mulut komat-kamit menguyah udara. Tubuh-tubuh menegang. Dalam khazanah ebeg, momen ini disebut janturan.
“Setelah diizinkan penimbul, penonton yang indang bisa ikut pentas. Kalau tidak, ia tidak akan masuk kalangan. Karena sudah indang, ia bisa saja kesurupan. Sebenarnya penonton ikut indang hanya ingin menghormati pementasan.”
Inilah momen yang ‘tak-kasatmata’ bergabung dalam pergelaran. Manjing dalam wadag para wayang, yang liyan turut menari seirama musik. Atmosfer terasa ganjil: sorot mata nyalang, nyaris tanpa kedipan. Gerak tubuh penari tak lagi manusiawi.
Indang merasuki wayang dan beberapa penonton. Kendati di bawah kendali indang, tubuh-tubuh itu menari selaras irama gending.
Sejumlah penonton di sudut lapangan rupanya sontak kesurupan. Suasana di luar kendali. Kasirin menuturkan penonton yang telah punya indang bisa saja tertular kesurupan.
Indang merasuki wayang dan beberapa penonton. Kendati di bawah kendali indang, tubuh-tubuh itu menari selaras irama gending. Bahkan tarian para wayang lebih bertenaga. Seorang di antaranya menjoget lemah gemulai bak perempuan kenes.
Indang menyelimuti tubuh seorang wayang bernama Dwi Putra Nugroho. Sayangnya, indang menyusup tak sempurna. Kasirin bersama pendampingnya kelabakan. Para penimbul membungkusnya dengan selimut barongan. Penonton melihat kejadian itu dengan tatapan penuh tanya. Suasana mencekam mengapung di udara.
LIR ILIR, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira, kumitir bedah ing pinggir…
Sang sinden mendadak melantunkan Ilir-ilir, sebuah tembang lawas ciptaan Sunan Kalijaga. Tembang penuh makna dalam spiritualitas Islam Jawa itu semakin menegaskan kedekatan ebeg dengan sosok Sunan Kalijaga. Tanpa aba-aba, tanpa perintah, alunan Ilir-ilir menuntun para penari mengitari jasad Dwi yang terbungkus kain hitam itu.
Kala dendang Ilir-ilir mendekati akhir, Dwi bangkit dengan mata hampa. Seringainya dingin. Tubuhnya lebih berenergi. Remaja itu tak lagi manusiawi. Badan kasarnya masih milik Dwi, namun badan halusnya berisi wujud yang lain.
Irama gending menggelora. Penonton makin rapat mengelilingi para pemain ebeg. Matahari mendekati cakrawala barat, penonton yang turut menari menyesaki pentas. Mendem, semua mendem. Sambung-menyambung, indang menjalar dari orang ke orang lain yang menonton.
Inilah momen penimbul menjadi pengikat pergelaran. Para pemain menatap lekat kepada penimbul: berharap sejumput sesajen atau sepercik minyak wangi. Penimbul Kasirin, Manislam dan Sansuparno sibuk membagikan kembang, minyak wangi, dan sesajen kepada mereka yang wuru.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR