Meskipun Dendrobium sagin berbunga indah dan berwarna cerah, masa mekar bunga anggrek itu tidak bertahan lama. Bunga ini hanya mekar sekitar 1-2 hari.
Nama epithet “sagin” diambil dari bahasa lokal suku Moi di Papua Barat yang memiliki arti “rambut”, yaitu merujuk pada tonjolan khas menyerupai rambut di bagian bibir bunganya. Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.
Untuk Begonia enoplocampa, spesies ini hanya dijumpai di Pulau Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Tumbuhan tersebut, menurut Wisnu Handoyo, mudah dikenali dengan batang yang berupa rhizome dan daun berbentuk bundar telur melebar dengan tepian daun bergigi hingga bercangap.
Nama spesies baru Begonia tersebut diambil dari Bahasa Yunani, yaitu énoplos (νοπλος=senjata, bersenjata) dan kámpë (κμπη=ulat), merujuk pada karakter rhizome dan daun penumpunya dengan rambut yang bercabang-cabang, yang jika diperhatikan saksama akan sangat mirip dengan ulat hijau berduri yang gatal. Penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa, kata Wisnu.
Adapun Begonia tjiasmantoi merupakan spesies endemik pulau Sulawesi. Spesies itu hanya dapat ditemukan di wilayah kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.
Tumbuhan tersebut adalah salah satu Begonia yang terunik di Sulawesi karena memiliki kombinasi karakter yang jarang ditemukan di spesies Begonia lainnya di Sulawesi. Tumbuhan ini berperawakan kecil dengan tinggi hanya sekitar 15 sentimeter dan daun berbentuk elips dengan warna kecoklatan disertai hijau terang pada permukaan atas daunnya.
Sayangnya keberadaan spesies endemik itu semakin terancam karena habitatnya yang sebagian besar telah dikonversi menjadi perkebunan kopi. Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Penelitian ini diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Baca Juga: Peta Baru Ungkap Lahan Sawit Terluas Ada di Sumatra dan Kalimantan
Lalu Begonia sidolensis merupakan spesies endemik Sulawesi Tengah. Tumbuhan hanya dapat dijumpai di sekitar kawasan puncak Gunung Sidole, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
Spesies itu merupakan salah satu hasil kolaborasi penelitian dengan Eka Putri Dayanti. Eka adalah mahasiswi Universitas Tadulako yang saat itu tengah mengerjakan tugas akhirnya yaitu tentang ekologi Begonia di Gunung Sidole.
Spesies tersebut, menurut Wisnu, sangat berbeda dengan spesies-spesies Begonia lainnya di Sulawesi dikarenakan memiliki beberapa karakter unik. Tumbuhan ini memiliki ciri perawakan kecil dengan batang yang tumbuh menjalar di atas permukaan tanah dan daun kecil berbentuk bundar telur berwarna kemerahan disertai bercak atau semburat berwarna hijau keperakan.
Tumbuhan ini juga memiliki bunga berwarna merah muda dan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan proporsi ukuran daunnya. Nama epithet spesies ini menggunakan nama gunung dimana spesies ini tumbuh dan ditemukan, yaitu Gunung Sidole. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.
Adapun Etlingera tjiasmantoi merupakan salah satu spesies dari suku jahe-jahean (Zingiberaceae) yang saat ini hanya ditemukan di hutan pegunungan wilayah Tentena, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Spesies tersebut, kata Wisnu, merupakan salah satu hasil temuan dari kegiatan ekspedisi Sulawesi yang dilakukan pada awal 2020 sebelum merebaknya pandemi di Indonesia.
Spesies baru itu dideskripsi bersama peneliti Zingiberaceae dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Marlina Ardiyani. Spesies Etlingera tjiasmantoi terlihat mirip dengan kerabatnya Etlingera flexuosa, namun dapat dengan mudah dibedakan pada tangkai anak daunnya yang lebih panjang dan buahnya yang berbentuk bulat telur sungsang dan tidak berduri.
Nama spesies itu, ia mengatakan, diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Wisnu mengatakan berbagai temuan spesies baru tersebut adalah salah satu bukti nyata bahwa pelosok belantara hutan Indonesia masih menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum terkuak oleh ilmu pengetahuan. Tak hanya kaya oleh keanekaragaman tumbuhan, tapi juga keanekaragaman hewan.
Sebelumnya, baru-baru ini, tim peneliti Yale University di Amerika Serikat sembat membuat "peta kehidupan" baru yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang diyakini memiliki banyak hewan tak dikenal. Brasil, Indonesia, Madagaskar, dan Kolombia diperkirakan memiliki paling banyak spesies vertebrata yang belum ditemukan.
Keempat negara ini berpotensi mewakili seperempat dari semua penemuan di masa depan, dengan lingkungan hutan berdaun lebar dengan iklim lembab tropis mereka diperkirakan menyumbang sekitar setengah dari yang tidak diketahui ini. Meskipun demikian, kita hanya akan dapat menemukan spesies-spesies itu di masa depan jika kita mempercepat pencarian kita. "Dan bukan hanya menemukan vertebrata, kemungkinan besar kita juga bisa menemukan spesies invertebrata, tumbuhan, maupun hewan laut," kata tim peneliti tersebut.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | ANTARA,Science Alert |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR