Berta juga mengisahkan bahwa neneknya, yang biasa disapa Engkong Emak, gemar menjamu kawan-kawan suaminya, menggelar selamatan dan pentas wayang kulit.
“Pasti setahun dua kali emak nyiapin slametan untuk para tukang becaknya, ngundang mudinnya, emak duduk di pojokan. La ndak ngerti apa-apa, cuma menyiapkan lengkap. Tukang becak nggak boleh pulang dulu karena kendurenan lalu mbawa sego golong dan lainnya. Rutin sampai emak meninggal. Emak itu jago pesta, duit banyak, anak cuma dua. Tapi emasnya sedikit, ya uangnya buat ngopeni (mengurus) banyak orang,” ujar Berta.
Neneknya suka membuat jamu bersama para istri kawan-kawan OKS yang kebanyakan adalah perempuan Jawa dan peranakan. “Emak suka bikin kunir asem, beras kencur, itu sama istri-istri sinkek yang orang-orang Jawa, baik-baik hubungannya,”ungkap Berta.
Baca Juga: Ketandan Dalam Ingatan Warganya, Dari Rumah Kongsi Sampai Toko Emas
Berta mengatakan bahwa ia sering tidur di pangkuan sang kakek dan melihat kakeknya mengisap candu di kamar belakang yang hingga kini masih ada. Kini kamar itu ditempati oleh cucu buyut OKS yang masih menjadi pelajar sekolah dasar.
“Engkong dan kawan-kawannya pakai candu itu katanya untuk vitalitas, enggak disalahgunakan. Eksklusif kelompoknya dan engkong nggak berbagi dengan siapapun, kalau ada yang minta pasti engkong akan akang jawab NJALUK ENDASMU!,” kata Berta.
Pada 1979, OKS meninggal dunia. Itulah tahun terakhir Berta meracik candu menjadi butiran-butiran sebesar kelereng untuk dikonsumsi kakek dan kawan-kawannya. “Engkong meninggal, candu berhenti, becak pun mulai dijual karena papa mama ndak bisa neruske (meneruskan), susah ngurus orang-orang dan nagihnya. Akhirnya ganti usaha burung puyuh,” kenang Berta. Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR