Nationalgeographic.co.id—Ong Kho Sioe seorang filantrop di Pecinan Ketandan pada 1940-an. Dia dikenal sebagai pengusaha beras dan becak yang sohor di Yogyakarta. Namanya tak setenar nama-nama kapitan, letnan, atau wijckmeester yang berkuasa di wilayah Pecinan Yogyakarta. Namun, ketika ia meninggal dunia, Sultan Hamengkubuwono IX datang melayat.
Sosoknya kerap disebut-sebut sebagai pemilik sebuah rumah yang dijuluki warga senior Ketandan sebagai ‘Gedong Tinggi’. Sebagian menjulukinya dengan ‘Rumah Kongsi’ atau ‘Rumah Candu’ karena pernah menjadi bagian riwayat candu di Yogyakarta.
Setidaknya terdapat empat rumah kongsi di Ketandan. Rumah kongsi OKS (Ong Kho Sioe) merangkap rumah candu, rumah kongsi OOP (Ong O Poo) merangkap rumah candu, rumah kongsi Suryatmajan, dan rumah kongsi Kantil. Terakhir, satu rumah candu yang kini telah menjadi toko furnitur dan souvenir, Mirota.
Rumah kongsi OKS itu bergaya kolonial, yang masih tampak pada fasad aslinya kendati kini tersekat menjadi dua bagian. Pemiliknya masih terhitung cucu sang filantrop.
“Engkong itu salah satu pionir orang Ketandan yang buka usaha pakai branding namanya, OKS,” ujar Alberta Gunawan kepada National Geographic Indonesia. Dia merupakan cucu Ong Kho Sioe, yang akrab disapa Berta, kelahiran 1962.
“Engkong menghidupi orang-orang dari Cina yang datang ke Ketandan dengan usaha becak dan beras itu. Setiap hari sejak zaman papa sampai zaman saya kecil itu Engkong Emak masak bubur dengan taburan ubi,” ujar Berta. “Setiap hari, ya ngasi makan orang-orang itu sampai orang itu bisa usaha sendiri.” Kemudian dia menyebutkan salah satu nama alumni rumah kongsi OKS adalah generasi pertama pemilik Toko Ramai di Malioboro saat ini.
“Ceritanya, awal merakit becak itu engkong merakit sendiri, punya bengkel. Ngumpulin dari toko besi ada ruji, rangka, lalu slebor dan terpal sama Pak Sami. Dulu para pembecaknya ngumpul di Mergangsan,” ujar Berta.
Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta
Dia menceritakan bahwa salah satu alasan OKS membuat becak adalah untuk mengantar isterinya mengirim beras ke konsumennya, beberapa kawan-kawan OKS, dan tamu-tamu dari Cina. Pada masa perjuangan kemerdekaan baik melawan Jepang maupun Belanda, becak-becak itupun menjadi kurir logistik serta candu!
Berta masih teringat bagaimana dia turut meracik candu. “Aku itu masak candu. Dari bentuk balok besar dimasak dibuat jadi butir-butir kecil. Baunya seperti aspal kebakar itu lho. Kalau aku tak kasih madu biar manis,” kata Berta menggambarkan proses pembuatan pil nyeret—ungkapan untuk butiran candu.
Candu-candu yang beredar di Jawa diimpor dari mancanegara karena candu tidak tumbuh di Jawa. Candu yang beredar di Yogyakarta didatangkan dari Semarang dengan kurirnya asal Blora.
“Orang-orang datang, nanti nyeret pakai alat cangklong panjang itu lo, didulit ditaro dicangklong, dibakar, dihisap, ya ndak sampai dua menit habis itu. Engkong tinggal ngitung perorang habis berapa butir. Itu dulu biasanya mulai pada nyeret jam empat sore sampai jam 6.30 malam lah bubarnya,” katanya.
Berta juga mengisahkan bahwa neneknya, yang biasa disapa Engkong Emak, gemar menjamu kawan-kawan suaminya, menggelar selamatan dan pentas wayang kulit.
“Pasti setahun dua kali emak nyiapin slametan untuk para tukang becaknya, ngundang mudinnya, emak duduk di pojokan. La ndak ngerti apa-apa, cuma menyiapkan lengkap. Tukang becak nggak boleh pulang dulu karena kendurenan lalu mbawa sego golong dan lainnya. Rutin sampai emak meninggal. Emak itu jago pesta, duit banyak, anak cuma dua. Tapi emasnya sedikit, ya uangnya buat ngopeni (mengurus) banyak orang,” ujar Berta.
Neneknya suka membuat jamu bersama para istri kawan-kawan OKS yang kebanyakan adalah perempuan Jawa dan peranakan. “Emak suka bikin kunir asem, beras kencur, itu sama istri-istri sinkek yang orang-orang Jawa, baik-baik hubungannya,”ungkap Berta.
Baca Juga: Ketandan Dalam Ingatan Warganya, Dari Rumah Kongsi Sampai Toko Emas
Berta mengatakan bahwa ia sering tidur di pangkuan sang kakek dan melihat kakeknya mengisap candu di kamar belakang yang hingga kini masih ada. Kini kamar itu ditempati oleh cucu buyut OKS yang masih menjadi pelajar sekolah dasar.
“Engkong dan kawan-kawannya pakai candu itu katanya untuk vitalitas, enggak disalahgunakan. Eksklusif kelompoknya dan engkong nggak berbagi dengan siapapun, kalau ada yang minta pasti engkong akan akang jawab NJALUK ENDASMU!,” kata Berta.
Pada 1979, OKS meninggal dunia. Itulah tahun terakhir Berta meracik candu menjadi butiran-butiran sebesar kelereng untuk dikonsumsi kakek dan kawan-kawannya. “Engkong meninggal, candu berhenti, becak pun mulai dijual karena papa mama ndak bisa neruske (meneruskan), susah ngurus orang-orang dan nagihnya. Akhirnya ganti usaha burung puyuh,” kenang Berta. Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Sishe Eliyawati (Ong Si She) adalah cucu OKS yang menempati Rumah Kongsi, turut menuturkan kenangannya kepada National Geographic Indonesia. Sayangnya, tidak ada benda milik OKS yang tersisa. Pipa cangklong candu pun turut disimpan dalam kubur OKS. Yang tertinggal hanya sedikit kenangan panci masak candu, peralatan bengkel becak OKS, dan rumah yang mungkin bakal berpindah ke tangan orang lain. Apabila rumah kongsi berpindah tangan, barangkali rumah akan berganti bangunan baru. Barangkali juga tak pernah ada yang mengingat keberadaan rumah dan kisah OKS lagi.
“Rumah ini akan dijual atas kesepakatan keluarga papa dan adiknya. Sakjane yo eman (sebetulnya sayang), banyak kenangangan. Tapi ya ini kesepakatan. Ini statusnya HGB, kami ya ikut aturan saja,” ujar Sishe.
“Tak banyak yang tersisa dari rumah candu dan becak OKS. Ndak ada catatan bon, tagihan becak, buku kas. Bahkan kami cari di foto-foto engkong, seperti foto waktu engkong meninggal itu ya ndak ada tampak becak satu pun. Hanya tersisa ingatan saya dan kakak saya, juga alat bengkel yang namanya tanggem. Candu, yang tersisa hanya wajan bekas masak candu,” ujar Sishe.
Waktu kecil, Sishe biasa bermain di atas becak dan melihat kegiatan tukang becak yang memperbaiki becak, mengecat slebor, dan membuat atap kanvas dengan menggunakan tanggem untuk membengkokan rotan atap becak. Ia menyebut becak OKS dianggap sebagai pelopor slebor (lumbung) becak gambar pemandangan di Yogyakarta!
Baca Juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta
Keberadaan becak-becak di Ketandan pun menjadi misteri. Hanya tersisa sedikit orang tua dan generasi muda Ketandan tentang ingatan rumah-rumah para pengusaha becak. Beberapa warga Ketandan masih mengingat keberadaan becak-becak yang lahir di pecinan ini. Salah satunya adalah generasi kedua becak OOP, yaitu Ong Muk Nang yang lahir pada 1940.
“OOP [dan] OKS sama-sama buka rumah kongsi untuk tempat tinggal orang-orang yang datang dari Cina. Lima kamar di sini. Di sini juga rumah candu, ya bengkel becak,”ujar Muk Nan. Dia memperlihatkan jari telunjuk tangan kanannya yang terputus satu buku akibat jeruji becak yang tengah berputar pada 1970-an. “Becak OOP dari Semarang datang 100, tapi ya tahun 70-an lebih sudah selesai. OKS itu besar (perusahaan) becaknya, ada 3 lagi. Lupa itu tahun berapa wong sudah lebih dari 40 tahun lalu.”
Di Ketandan terdapat lima perusahaan becak mulai dari OKS (Ong Kho Sioe), OOP (Ong O Poo), TIN (Tan In Nong), Istimewa dan yang terakhir adalah Kurnia. Ketandan pun menjadi misterius karena cerita becak-becaknya sedikit yang terungkap. Beberapa merek becak lainnya di Yogyakarta, yaitu Kalimantan, PUN, King Kong, Sinar Laut, Pasti Jaya, dan Caroko. Becak Caroko adalah perusahan becak pertama yang dimiliki oleh pengusaha beretnis Jawa pada 1968.
Ketandan, sepetak pecinan Yogyakarta yang kerap terlewat oleh para pelawat namun begitu memikat dengan cerita becak yang masih terawat.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR