Nationalgeographic.co.id—Genus Brachycephalus umumnya dikenal sebagai katak labu. Genus ini terdiri atas kakak-katak kecil beracun yang hidup di serasah daun hutan dan paling aktif pada siang hari. Mereka endemik di Hutan Atlantik di sepanjang pantai Brasil.
Sebuah laporan penelitian baru terkait genus katak ini terbit di jurnal PLOS One pada 28 April 2021. Menurut laporan yang berjudul "Hidden by the name: A new fluorescent pumpkin toadlet from the Brachycephalus ephippium group (Anura: Brachycephalidae)" itu, sebagian besar spesies Brachycephalus dapat dilihat di dataran rendah atau daerah pegunungan yang terbatas. Beberapa dari mereka hanya menempati area yang lebih kecil yang luasnya tak lebih 100 hektare.
Selama satu dekade terakhir, para peneliti telah meneliti lebih dalam tentang diversifikasi dan biogeografi katak labu. Mereka menemukan adanya peningkatan jumlah spesies pada katak-katak kecil itu.
Mereka menemukan lebih dari 15 spesies Brachycephalus. Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 36 spesies katak labu yang dideskripsikan.
Baca Juga: Terakhir Ditemukan 1993, Katak Ini Sempat Dikira Sudah Punah
Baru-baru ini, para peneliti menemukan spesies lain dari Brachycephalus. Mereka mengidentifikasinya sebagai spesies katak labu fluoresen baru dan sangat beracun. Katak labu fluoresen adalah jenis katak labu yang bisa berpendar atau memancarkan sinar, seperti terlihat menyala bila terkenal gelombang cahaya tertentu.
Katak labu baru ini diberi nama ilmiah B. rotenbergae. Nama ini diambil dari sosok Elise Laura K. Rotenberg, pendiri sebuah LSM Brasil bernama Projeto Danis, yang mendedikasikan diri untuk penelitian dan konservasi Hutan Atlantik. Menurut New Scientist, ukuran spesies baru katak labu ini sangat kecil sehingga bisa muat di kuku jari jempol manusia.
Spesies ini ditemukan di selatan Pegunungan Mantiqueira di Sao Paulo, Brasil, rumah bagi beberapa lusin spesies katak labu. Hewan ini memiliki warna yang mirip dengan spesies Brachycephalus lainnya, yang terlihat seperti sup labu yang enak dan lezat.
Tim tersebut melakukan analisis terhadap ukuran dan bentuk tubuh, tulang, gen, dan bahkan nyanyian katak itu. Para peneliti mencatat bahwa sulit untuk menemukan spesies baru karena anggota Brachycephalus yang paling terang terlihat serupa, baik secara genetik maupun fisik.
Baca Juga: Tiga Jenis Babi Unik di Indonesia: Babi Berjanggut hingga 'Bercula'
Menurut laporan CNet, B. rotenbergae dan spesies lain dari genus yang sama memiliki tulang di dekat permukaan kulit berdagingnya. Kulit ini dapat bersinar di bawah cahaya fluoresens.
Mata manusia tidak dapat melihat ini di bawah cahaya normal. Namun para ilmuwan berpikir bahwa katak tersdebut menggunakan karakteristik fluoresen ini sebagai isyarat visual bagi katak-katak lain di hutan atau sebagai mekanisme pertahanan.
Jodi Rowley di Australian Museum di Sydney mengatakan bahwa penemuan spesies baru katak labu menggarisbawahi betapa para ilmuwan perlu mempelajari tentang keanekaragaman hayati katak. Laporan penelitian mereka menjelaskan secara rinci kelimpahan katak yang mereka temui selama penelitian.
Mereka menganggap penemuan ini sebagai kemenangan langka untuk spesies-spesies yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka menyebutnya sebagai kemenangan langka karena perubahan iklim telah mendorong hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh dunia.
Baca Juga: Delapan Spesies Tumbuhan Baru Ditemukan Dua Peneliti LIPI pada 2020
Beberapa spesies di dunia hewan menggunakan warna dan terkadang fluoresensi sebagai tanda "JANGAN MAKAN" atau perlindungan diri dari predator. Itu mungkin juga berlaku untuk B. rotenbergae.
Fluoresensi cukup umum ditemukan di antara hewan-hewan. Penemuan terbaru lainnya terkait sifat fluoresensi ini ditemukan pada mamalia di Australia yang bisa memancarkan sinar di bawah cahaya UV.
Menurut laporan sebelumnya dari Science Times, hewan-hewan yang punya kemampuan fluoresensi tersebut antara lain platipus, wombat, ekidna, bandikut, bilby, posum, beberapa kelelawar, serangga, katak, ikan, dan jamur. Bahkan tardigrada juga menggunakan fluoresensi sebagai mekanisme pertahanan mereka.
Source | : | CNET,new scientist,Science Times |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR