Nationalgeographic.co.id—Bali tanpa turis internasional adalah prospek yang tak terbayangkan pada Januari 2019. Pulau di Indonesia, yang terkenal dengan vegetasi yang subur, pantai yang masih asli, dan budaya lokalnya yang kaya, telah menjadi tujuan yang didambakan oleh para pelancong dari seluruh dunia. Mulai dari orang-orang mancanegara yang kaya yang mencari kemewahan resor, hingga para backpacker yang mencari akhir pekan yang liar di pantai Kuta. Pada 2019, bandara Bali menerima 6,2 juta wisatawan mancanegara.
Selama beberapa dekade sebelumnya, ekonomi beserta infratruktur pariwisata di Bali telah tumbuh secara eksponensial. Bali kemudian berubah dari surga terpencil pada tahun 60-an menjadi tujuan wisata yang sibuk (dan terkadang macet) dengan keberadaan sekitar 4.300 hotel dan 100.000 kamar hotel.
Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa Pulau Bali yang memiliki populasi 4,3 juta orang mengambil 53% pendapatannya langsung dari sektor pariwisata atau perjalanan pada 2019. Beberapa perkiraan menyebut sumber seperempat pendapatan lainnya pulau ini secara tidak langsung juga terkait dengan pariwisata.
Para pekerja Bali yang sebelumnya mungkin tinggal di pertanian keluarga telah berbondong-bondong ke tempat-tempat yang tujuan wisata populer seperti Ubud, Seminyak, dan Nusa Dua untuk menjadi pekerja hotel, pemandu wisata, pemijat, koki, dan penjual suvenir.
Ketika dunia berhenti bepergian karena COVID-19, ekosistem pariwisata Bali hancur. Pada kuartal kedua tahun 2020, semua kecuali 10% dari para penyedia tur dan perjalanan di pulau itu telah tutup. Hotel-hotel yang tetap beroperasi hanya memiliki tingkat hunian kurang dari 10%.
Beberapa pemasukan datang kembali ketika orang-orang Indonesia yang kaya telah berkunjung lagi ke Bali. Namun, selama pembatasan kunjungan internasional ke Bali tetap ditutup, mesin ekonomi Bali relatif tetap tidak aktif. Sejumlah pemberitaan menyebut pemerintah Indonesia berencana untuk mulai mengizinkan kembali para pelancong internasional mengunjungi Bali pada akhir Juli nanti.
Baca Juga: Turis Mancanegara di Bali Tak Sadar Memegang Hewan Beracun Mematikan
Sebelum bulan itu tiba dan kebijakan itu dibuat, yang jelas Bali telah mengalami setahun penuh tanpa kehadiran turis mancanegara. Fast Company menghimpun kisah yang terjadi selama setahun terakhir di Bali tersebut.
Kisah ini diceritakan melalui suara manajer umum dan pemilik hotel, sopir taksi, pebisnis, hingga ekspatriat di Pulau Dewata tersebut. Dan ini bukan hanya kisah Bali: Destinasi-destinasi wisata lainnya, seperti Kosta Rika, tempat sekitar 11,7% pekerjanya bergantung pada pariwisata, dan Pulau Phuket di Thailand, juga mengelamai hal serupa.
Mari kita simak kompilasi cerita dari orang-orang yang bekerja di sektor pariwisata Bali berikut, seperti dikutip dari Fast Company:
"Bali pernah mengalami penurunan tajam ini di masa lalu, tetapi tidak ada yang sebanding dengan ini. Dengan pariwisata, banyak orang Bali menjadi makmur. Satu atau dua generasi yang lalu, penduduk setempat adalah staf-staf hotel kelas atas," ungkap Ernst Ludick, General Manager Amankila Resort di Bali timur.
Baca Juga: Sains Ungkap Kemampuan Monyet Bali Membedakan Benda Berharga
Dia menambahkan, "Namun, anak-anak mereka telah mengambil pekerjaan, tidak hanya di industri perhotelan dan pelayaran, tetapi juga sebagai akuntan, insinyur, perawat, dokter, dan sebagainya. Tetapi [akhir-akhir ini] saya melihat mobil dan sepeda motor di pinggir jalan dengan tanda 'untuk dijual' di atasnya."
Sementara itu Made Wirata, supir taksi selama lebih dari 20 tahun di Ubud, mengatakan, "Sebelum virus corona, bisnis saya bagus, saya punya banyak pelanggan yang merupakan turis, dan saya menghasilkan cukup uang. Itu sudah cukup bagi saya. Saya bisa duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa, tidak ada pekerjaan, tidak ada pekerjaan, tidak ada apa-apa selama setahun sekarang."
"Saya adalah seorang pemandu wisata di Indonesia dari tahun 1997 hingga 2019, kemudian saya mendapat properti di sebuah desa di Bali Utara di mana para tamu dapat menginap, dan saya telah mengelolanya," kata Gede Sukayarsa, pemilik Villa Bantes dan Bulian Homestay di Bali Utara.
Baca Juga: Apa yang Membentuk Kesejatian Cita Rasa Bersantap di Nusa Dewata?
Sukayarsa bekerja bersama grup tur G Adventure, yang mengajak orang-orang untuk menginap di hotelnya. "Saya biasanya memiliki tiga kelompok yang tinggal bersama saya, kebanyakan dari Eropa dan AS. Itu berjalan sangat baik. Rombongan terakhir yang datang pada Maret 2020. Setelah itu tidak ada lagi pengunjung. Saya kehilangan segalanya April lalu. Saya kehilangan mobil saya. Bank menjadi sangat agresif."
"Setelah bom Bali [pada 2002 dan 2005, yang menewaskan penduduk lokal dan juga turis], pulau itu sunyi selama beberapa bulan, lalu berangsur-angsur bangun kembali," kata Guy Heywood, Chief Operating Officer Six Senses Resort, termasuk Six Senses Uluwatu, di Bali.
"Tetapi ini pertama kalinya seluruh dunia terhenti. Ini memengaruhi semua orang: sopir taksi, pedagang kaki lima, orang-orang yang mengajar selancar, para wanita yang menawarkan pijat di pantai," imbuhnya.
Saat vaksin COVID-19 telah menyebar ke seluruh dunia, ada secercah harapan di cakrawala bagi sebagian orang untuk melewati masa-masa sulit selama pandemi ini. Tetapi bagi sebagian orang lainnya, harapan itu masih tampak jauh.
Source | : | Fast Company |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR