Guna mengiris pengaruh budaya Barat itu ada sidang presidium 22 September 1964 yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jenderal Achmadi. Menghasilkan kebijakan untuk menindak tegas warga yang masih mendengarkan dan memainkan musik 'ngak ngik ngok'.
Polisi didukung kaum muda yang berafiliasi dengan Lekra dan Pemuda Rakyat untuk merazia ratusan piringan hitam dan alat perekam beserta kaset The Beatles, Rolling Stones, dan The Shadows. Kepolisian memerintahkan pedagang piringan hitam untuk menyerahkan musik-musik itu sampai sampai 22 Juli 1965.
Kelompok musik Koes Bersaudara yang kemudian dikenal sebagai Koes Plus juga kena imbasnya. Gaya mereka dianggap meniru The Beatles nan kebarat-baratan dan lagunya dianggap melemahkan mental remaja dengan nuansa-nuansa cinta. Mereka ditangkap dan lagu-lagunya dilarang beredar. Bahkan album piringan-piringan hitam mereka dihancurkan.
Baca Juga: Nasib Musik Tanjidor: Dari Kaum Mardijker Sampai Kaum Pinggiran
Musik populer tahun 1960-an memang berperang dalam 'budaya remaja'. Beberapa aliran, termasuk Rock n Roll dinilai seperti 'budaya remaja' menurut Dieter Mack dalam buku Apresiasi Musik Populer (1997).
Sehingga perang idola, cara penampilan, gaya hidup para bintang musik menjadi panutan para remaja. Mereka menganggap semua yang melekar pada idolannya merupakan sesuatu yang patut ditiru. Guna mengilangkan budaya itu maka pemerintah tidak hanya memenjarakan musisi dan memberantas piringan hitam, tapi juga tidak menyediakan pilihan lagu-lagu Barat dalam daftar pilihan pendengar.
Media massa saat itu banyak yang memberikan reaksi positif terhadap kebijakan Sukarno. Munculah kecaman-kecaman kepada The Beatles sebagai biang keladi dari semua masalah kenakalan remaja di indonesia.
Baca Juga: Nostalgia Lewat Musik Lawas, Penawar Psikologis di Masa Pagebluk
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR