Nationalgeographic.co.id - Sejatinya, wacana untuk memasukkan Papua sebagai bagian Indonesia sudah ada sejak BPUPKI 1945. Beberapa anggota ingin Indonesia terdiri dari bekas koloni Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke.
Namun, Muhammad Hatta menolaknya karena Indonesia yang kelak merdeka akan dianggap sebagai imperialis baru terhadap bangsa Melanesia oleh kacamata hukum internasional. Hal itu diungkap dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1995).
“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” kata Hatta dalam sidang.
Akhirnya, sidang BPUPKI berakhir dengan gagasan Papua bagian barat merupakan daulat Indonesia. Gagasan itu diperkarsai Sukarno dan Muhammad Yamin, yang selanjutnya akan menjadi perjuangan dengan ragam operasi militer dan diplomasi.
Di sisi lain pada 1 Mei 1945, Corinus Krey dan Frans Kaisiepo juga melahirkan nama 'Irian' untuk mengganti istilah 'Papua' saat berdiskusi di Jayapura. Istilah itu menandakan keinginan mereka menjadikan tanah airnya sebagai bagian Indonesia Raya.
Frans juga menjadi utusan Papua untuk Konferensi Malino, dan membawa istilah Irian itu sebagai nama pulau besar paling timur itu (Lundry, 2009). Usaha integrasi Papua berlanjut dalam perjanjian-perjanjian kemerdekaan, termasuk Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.
Baik Indonesia dan Belanda bersikeras mengklaim Papua. Dalam Indonesia dalam Arus Sejarah VII, Belanda menganggap Papua harus mendapatkan status khusus. Pasalnya, wilayah itu di bidang ekonomi tak mempunyai hubungan khusus dengan wilayah-wilayah Indonesia, sehingga harus di luar RIS.
Baca Juga: Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora: Baku Tembak Hingga Pendaratan Darurat
Papua Barat justru hanya memiliki hubungan khusus dengan Kerajaan Belanda, yang akan diperintah sesuai piagam PBB. Mereka menganggap, orang asli Papua secara etnis dan ras berbeda pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Pihak Belanda menginginkan Papua Barat sebagai negera tersendiri di bawah naungannya.
Secara nasib pun, masyarakat Papua pada masa sebelumnya tak seperti bangsa Indonesia pada umumnya yang mengalami kerja paksa, penyiksaan, dan kematian saat di bawah Belanda. Mereka cenderung menganggap Belanda bukan penjajah, tetapi penyebar agama dan kemanusiaan (Yambeyapdi, 2018) (Korwa, 2013).
John Saltford, sejarawan University of Hull dalam The United Nations and the Indonesia Takeover of West Papua, 1962-1969 (2002), ada banyak perundingan yang dilakukan pasca KMB untuk membahas Papua, tetapi semua mengalami kebuntuan.
Oktober 1957, jalur konfrontasi dipakai Sukarno bersamaan dengan mengajak para buruh menasionalisasi perusahaan Belanda. Jalur ini adalah cara 'ngotot' Sukarno akibat upaya damai di PBB tak berhasil.
Cara ini mengakibatkan kerusuhan dan perlawanan rakyat Indonesia kepada Belanda, yang mengakibatkan peristiwa Zwarte Sinterklaas. Peristiwa ini membuat masyarakat sipil Belanda yang sudah lama menetap terusir. Pada 1960, hubungan diplomatik RI-Belanda terputus.
Indonesia mempersiapkan militernya untuk melakukan konfrontasi dengan meminta bantuan negara lain. Awalnya kepada Amerika Serikat, tetapi ditolak, dan berpindah ke Uni Soviet dan Polandia. Usaha itu dilakukan oleh A.H Nasution bersama Menlu Indonesia Subandrio, Januari 1961.
Tak tinggal diam, Belanda protes pada PBB dan menuduh Indonesia melakukan agresi. Maka kerajaan itu mengirimkan kapal induk Karel Doorman. 1961 pun Belanda mendirikan Dewan Papua untuk mewujudkan kemerdekaannya sendiri.
Baca Juga: Zwarte Sinterklaas, Eksodus Masyarakat Sipil Belanda dari Indonesia
Pada 26 September 1961, Menlu Belanda J. Luns membuat langkah baru, agar dunia membantu menyelesaikan masalah Papua. Ia berjanji, Papua akan diinternasionalkan, didekolonisasi, dan menentukan hak nasib sendiri.
1 Desember 1961, Dewan Papua mengibarkan bendera nasionalnya, Bintang Kejora, dan memilih "Hai Tanahku papua" sebagai lagu kebangsaan. Bendera ini menjadi simbol nasionalisme Papua yang dibawa Koreri di Biak pada Perang Dunia II, tulis Saltford.
19 Desember, Indonesia menentang pembentukan Negara Papua dan mendeklarasikan Trikora dan mulai mengirimkan tentara. Mereka menganggap Negara Papua adalah negara boneka yang dibentuk Belanda.
Amerika Serikat menentang rencana Luns. Rostow yang merupakan Penasihat Urusan Keamanan Nasional menyampaikan pada John F. Kennedy, tindakan Belanda akan membuat Indonesia berpihak pada Soviet. Rostow menyarankan bahwa penentuan nasib sendiri itu tak berarti.
Maka pada Februari 1962, John F. Kennedy selaku presiden AS berkunjung ke Jakarta untuk melakukan perundingan bersama Sukarno. AS juga membujuk agar Indonesia mau berunding di PBB, dan disetujui. Saat itu pula kondisi AS-Indonesia juga sedang membaik.
Baca Juga: Seabad Soeharto: Selain Kontroversinya, Ada Siasat Politik Cerdik
Setelah itu Kennedy ke Belanda untuk mengajak Ratu Julianna, Perdana Menteri J.E de Quay, dan Menlu Luns. Hasilnya, Maret 1962, Belanda menyetujui untuk berunding dengan Indonesia.
Sikap AS yang mendukung Indonesia juga turut membuat Australia berpihak ke Indonesia. Padahal sebelumnya Australia menolak integrasi Papua ke dalam Indonesia, dan menganggap negara tetangganya sebagai ancaman.
Pihak AS berhasil meyakinkan Australia, dan melibatkannya dalam ANZUS (Australia, New Zealand, United States) untuk memperkuat pertahanan pada Mei 1962.
Serangkaian perundingan pun dilakukan, dan mencapai Persetujuan Sementara pada 31 Juli 1962 di bawah pengawasan PBB. Isinya, Belanda harus menyerahkan Papua kepada UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) maksimal 1 Oktober 1962.
Secara de jure, Indonesia juga diperbolehkan mengibarkan bendera Merah-Putih di samping bendera PBB di Papua.
Sebagai lanjutan, pada 15 Agustus di markas besar PBB mengadakan Perjanjian New York yang mengisyaratkan Indonesia harus mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua agar masyarakat menentukan nasibnya untuk bergabung atau merdeka. Ji
Namun menurut Esther Heidbüchel dalam bukunya The Wes Papua Conflict in Indonesia (2007), Perjanjian New York itu melanggar hukum karena tak memiliki perwakilan orang Papua di dalamnya.
Baca Juga: Selarik Tembang Kenangan Orang-orang Buangan di Boven Digoel
Pepera pun dilaksanakan dari 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 ketika Soeharto menjadi presiden. dengan hasil jajak pendapat penentuan nasib masyarakat Papua bergabung dengan Indonesia. Hasil itu disahkan dengan resolusi PBB pada 19 September
Tetapi sejarawan Wageningen University, Leontine E. Visser bersama Amapon Jos Marey dalam Bakti Pamong Praja Papua (2008) berpendapat ada unsur kecurangan dalam Pepera. Mereka menulis, pemerintah Indonesia mengirim banyak Papua dengan dalih operasi pengamanan menjelang referendum itu.
Wesser dan Marey menjelaskan bahwa banyak masyarakat Papua Barat dikumpulkan, bahkan dibawa ke Jakarta untuk diindoktrinasi supaya mendukung Indonesia dalam Pepera.
Tod Jones (2015) menulis, Ali Moertopo dari TNI telah terlibat dalam banyak operasi rahasia sejak 1966. Melansir Majalah Tempo edisi khusus: Rahasia-rahasia Ali Moertopo (2013), Ali Moertopo juga menjadi penyuplai tembakau dan bir dari Singapura ke para kepala suku dan wakil rakyat Papua.
Sehingga, pada Pepera 1969 Ali Moertopo memastikan bahwa yang melakukan jajak pendapat dilakukan oleh wakil-wakil Papua yang menerima bantuannya. Pada Agustus, Pepera mendulang hasil bahwa masyarakat Papua ingin bergabung dengan Indonesia.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR