Akhirnya, sidang BPUPKI berakhir dengan gagasan Papua bagian barat merupakan daulat Indonesia. Gagasan itu diperkarsai Sukarno dan Muhammad Yamin, yang selanjutnya akan menjadi perjuangan dengan ragam operasi militer dan diplomasi.
Di sisi lain pada 1 Mei 1945, Corinus Krey dan Frans Kaisiepo juga melahirkan nama 'Irian' untuk mengganti istilah 'Papua' saat berdiskusi di Jayapura. Istilah itu menandakan keinginan mereka menjadikan tanah airnya sebagai bagian Indonesia Raya.
Frans juga menjadi utusan Papua untuk Konferensi Malino, dan membawa istilah Irian itu sebagai nama pulau besar paling timur itu (Lundry, 2009). Usaha integrasi Papua berlanjut dalam perjanjian-perjanjian kemerdekaan, termasuk Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.
Baik Indonesia dan Belanda bersikeras mengklaim Papua. Dalam Indonesia dalam Arus Sejarah VII, Belanda menganggap Papua harus mendapatkan status khusus. Pasalnya, wilayah itu di bidang ekonomi tak mempunyai hubungan khusus dengan wilayah-wilayah Indonesia, sehingga harus di luar RIS.
Baca Juga: Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora: Baku Tembak Hingga Pendaratan Darurat
Papua Barat justru hanya memiliki hubungan khusus dengan Kerajaan Belanda, yang akan diperintah sesuai piagam PBB. Mereka menganggap, orang asli Papua secara etnis dan ras berbeda pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Pihak Belanda menginginkan Papua Barat sebagai negera tersendiri di bawah naungannya.
Secara nasib pun, masyarakat Papua pada masa sebelumnya tak seperti bangsa Indonesia pada umumnya yang mengalami kerja paksa, penyiksaan, dan kematian saat di bawah Belanda. Mereka cenderung menganggap Belanda bukan penjajah, tetapi penyebar agama dan kemanusiaan (Yambeyapdi, 2018) (Korwa, 2013).
John Saltford, sejarawan University of Hull dalam The United Nations and the Indonesia Takeover of West Papua, 1962-1969 (2002), ada banyak perundingan yang dilakukan pasca KMB untuk membahas Papua, tetapi semua mengalami kebuntuan.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR