"Ada sedikit salah kaprah bahwa kongsi-kongsi ini adalah negara dalam negara. Padahal, mereka awalnya hanya mengorganisasi diri supaya hidupnya lebih baik, teratur, dan tidak konflik," papar Hasan. Menurut Hasan, kesalahpahaman ini dimulai dari penggunaan istilah "republik" oleh Dr J. J. M. De Groot, sinolog asal Belanda.
Akan tetapi, cap "republik" sendiri memang tidak mengherankan. Hal ini disebabkan karena setiap federasi memiliki wilayah, aturan, anggota, mata uang, pasukan keamanan, dan pimpinan yang dipilih secara demokratis. "Memang mirip, sih, [dengan republik,] karena segala unsur tersebut ada," ujar Hasan. Namun menurut Hasan, kongsi tidak dapat dikatakan sebagai negara republik karena masih membayar pajak kepada Sultan Sambas.
Lama kelamaan, kongsi-kongsi ini mulai takluk di tangan Belanda. Heshun Zongting yang sedari awal menentang Belanda takluk terlebih dahulu pada 1854. Sementara itu, Kongsi Lanfang yang lebih kooperatif ditaklukkan Belanda pada 1884. Di bawah pemerintahan Belanda, orang Tionghoa mendapatkan represi serupa yang dialami oleh jajahan Belanda lainnya.
Baca Juga: Candu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19
Selang beberapa waktu, Kalimantan Barat diduduki Jepang pada Perang Dunia II. Untuk mencegah pemberontakan, para serdadu Jepang mengeksekusi tokoh-tokoh dan pemimpin Tionghoa di Mandor. Korban dari pembunuhan ini mencapai 21.037 jiwa.
Di masa Indonesia merdeka, orang Tionghoa mendapat tantangan baru. Melalui PP tahun 10 tahun 1959, orang Tionghoa tidak diperbolehkan membuka usaha di atas tingkat kabupaten. Represi ini semakin menguat dengan peraturan diskriminatif pada masa Orde Baru.
Puncaknya, terjadi Peristiwa Mangkuk Merah tahun 1967. Dalam peristiwa ini, pada saat itu ada hasutan terhadap masyarakat Dayak bahwa orang Tionghoa melakukan dukungan terhadap gerakan komunis PGRS/Paraku. Akibat hasutan ini, militer yang dibantu sejumlah warga Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran massal terhadap orang Tionghoa.
Dalam buku Anomie and Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding (2010), korban pembunuhan ini diperkirakan mencapai 2.000-5.000 jiwa. Laman Tirto.id melansir Jurnal Historia FKIP Universitas Muhammadiyah Metro bahwa tragedi ini juga memaksa 50.000-80.000 orang Tionghoa untuk mengungsi ke kota-kota seperti Singkawang dan Pontianak. Sekitar 5.000 jiwa lagi meninggal di kamp pengungsian karena kelaparan dan masalah kesehatan.
Namun pada akhirnya, diskriminasi pemerintah mulai surut pada era Reformasi. Orang Tionghoa di Kalimantan Barat kini menjadi bagian masyarakat yang menentukan masa depan provinsi dan negaranya.
Baca Juga: Sejarah Kota Pontianak, Apakah Benar Berhubungan dengan Kuntilanak?
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR