Nationalgeographic.co.id—Kalimantan Barat memiliki populasi Tionghoa terbanyak kedua di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi orang Tionghoa di Kalbar mencapai 358.451 jiwa pada tahun 2010. Populasi Tionghoa terkonsentrasi di kota, seperti Pontianak, Singkawang, dan Ketapang. Lantas bagaimana sejarah dari persinggahan orang Tionghoa di sana?
Untuk itu, Roemah Bhinneka menyelenggarakan webinar Keliling Indonesia Yuk! Tionghoa Singkawang dan Ketapang. Webinar ini mencoba menelusuri jejak sejarah orang Tionghoa di Kalimantan Barat.
"Pada abad ke-7, hubungan antara Tionghoa daratan dengan Kalimantan Barat itu sudah ada," jelas Hasan Karman, mantan walikota Singkawang yang menjadi pembicara dalam webinar ini. Menurut Hasan, hubungan tersebut terjalin jauh sebelum gelombang besar migrasi Tionghoa pada abad-abad berikutnya. Ia lebih lanjut memaparkan, bahwa setidaknya terdapat tiga gelombang migrasi Tionghoa ke Kalimantan Barat.
Gelombang pertama datang dari pasukan Dinasti Yuan. Mereka adalah orang Tartar dan Han yang menyerang Jawa atas perintah Kubilai Khan pada tahun 1292-1293. Dalam perjalanan ke Jawa, mereka sempat merapat ke Kalimantan Barat sebagai tempat persinggahan.
Namun, perjalanan ke Jawa membawa petaka. Kekalahan mereka di tangan Raden Wijaya membuat mereka harus siap dikenai hukuman pancung oleh sang Khan. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk membelot dan menetap di Kalimantan Barat.
Sementara itu, gelombang kedua datang dari awak kapal Laksamana Cheng Ho pada periode 1405-1433. "Laksamana Cheng Ho pernah melakukan tujuh kali ekspedisi ke Nanyang [Asia Tenggara]. Menurut legenda, beberapa dari mereka menetap di Kalimantan," ungkap Hasan. Saat ini, jejak keturunan dari awak kapal Cheng Ho dapat terlihat dari keberadaan komunitas Islam Tionghoa bermazhab Hanafi di Sambas.
Baca Juga: Gerakan Rahasia White Lotus dan Hancurnya Dinasti Mongol di Tiongkok
Sementara itu, gelombang ketiga dan terbesar terjadi pada tahun 1740-1760. Kedatangan tersebut tidak lepas dari penemuan emas di Monterado. Kala itu, Sultan dari Sambas dan Panembahan Kerajaan Mempawah mendatangkan orang Tionghoa untuk menjadi tenaga penambang di sana.
Posisi Monterado tidak dapat diakses melalui laut. Untuk mentransportasikan hasil tambang, orang Tionghoa harus melalui desa pesisir bernama Singkawang.
Orang Tionghoa terkesima melihat desa ini. Bagi mereka, posisi Singkawang memiliki fengshui yang bagus karena memiliki gunung, sungai, dan lautan. Mereka menamakannya San Khieu Yong, yang secara literal berarti "gunung muara laut".
Baca Juga: Kopitiam, Riwayat Penyebutan Kedai Kopi Pusaka Peranakan Cina
Menurut orang Tionghoa, ketiga unsur geografis ini menjadi bagian yang vital dalam menunjang pertanian dan perdagangan. Alasan inilah yang menyebabkan banyak orang Tionghoa yang mulai menetap di Singkawang.
Dalam perkembangannya, orang Tionghoa membangun Singkawang menjadi kota pelabuhan yang ramai. Pelabuhan tersebut menjadi tempat orang Tionghoa untuk menjual hasil tambang. "Untuk menghindari konflik antara penambang," ujar Hasan," mereka membentuk kongsi-kongsi dagang."
Seiring waktu, kongsi-kongsi ini berkembang pesat. Dua kongsi menjadi kekuatan dominan, yakni Federasi 14 Kongsi Heshun Zongting yang berdiri pada 1776, dan Kongsi Lanfang yang berdiri setahun setelahnya.
"Ada sedikit salah kaprah bahwa kongsi-kongsi ini adalah negara dalam negara. Padahal, mereka awalnya hanya mengorganisasi diri supaya hidupnya lebih baik, teratur, dan tidak konflik," papar Hasan. Menurut Hasan, kesalahpahaman ini dimulai dari penggunaan istilah "republik" oleh Dr J. J. M. De Groot, sinolog asal Belanda.
Akan tetapi, cap "republik" sendiri memang tidak mengherankan. Hal ini disebabkan karena setiap federasi memiliki wilayah, aturan, anggota, mata uang, pasukan keamanan, dan pimpinan yang dipilih secara demokratis. "Memang mirip, sih, [dengan republik,] karena segala unsur tersebut ada," ujar Hasan. Namun menurut Hasan, kongsi tidak dapat dikatakan sebagai negara republik karena masih membayar pajak kepada Sultan Sambas.
Lama kelamaan, kongsi-kongsi ini mulai takluk di tangan Belanda. Heshun Zongting yang sedari awal menentang Belanda takluk terlebih dahulu pada 1854. Sementara itu, Kongsi Lanfang yang lebih kooperatif ditaklukkan Belanda pada 1884. Di bawah pemerintahan Belanda, orang Tionghoa mendapatkan represi serupa yang dialami oleh jajahan Belanda lainnya.
Baca Juga: Candu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19
Selang beberapa waktu, Kalimantan Barat diduduki Jepang pada Perang Dunia II. Untuk mencegah pemberontakan, para serdadu Jepang mengeksekusi tokoh-tokoh dan pemimpin Tionghoa di Mandor. Korban dari pembunuhan ini mencapai 21.037 jiwa.
Di masa Indonesia merdeka, orang Tionghoa mendapat tantangan baru. Melalui PP tahun 10 tahun 1959, orang Tionghoa tidak diperbolehkan membuka usaha di atas tingkat kabupaten. Represi ini semakin menguat dengan peraturan diskriminatif pada masa Orde Baru.
Puncaknya, terjadi Peristiwa Mangkuk Merah tahun 1967. Dalam peristiwa ini, pada saat itu ada hasutan terhadap masyarakat Dayak bahwa orang Tionghoa melakukan dukungan terhadap gerakan komunis PGRS/Paraku. Akibat hasutan ini, militer yang dibantu sejumlah warga Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran massal terhadap orang Tionghoa.
Dalam buku Anomie and Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding (2010), korban pembunuhan ini diperkirakan mencapai 2.000-5.000 jiwa. Laman Tirto.id melansir Jurnal Historia FKIP Universitas Muhammadiyah Metro bahwa tragedi ini juga memaksa 50.000-80.000 orang Tionghoa untuk mengungsi ke kota-kota seperti Singkawang dan Pontianak. Sekitar 5.000 jiwa lagi meninggal di kamp pengungsian karena kelaparan dan masalah kesehatan.
Namun pada akhirnya, diskriminasi pemerintah mulai surut pada era Reformasi. Orang Tionghoa di Kalimantan Barat kini menjadi bagian masyarakat yang menentukan masa depan provinsi dan negaranya.
Baca Juga: Sejarah Kota Pontianak, Apakah Benar Berhubungan dengan Kuntilanak?
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR