Nationalgeographic.co.id - Anggapan adanya materi gelap (dark matter) dalam kinerja alam semesta masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan. Beberapa penelitian mengungkap adanya materi itu, ada pula yang mengungkapnya tidak ada.
Secara definisi, materi gelap merupakan sesuatu yang tidak dapat dideteksi lewat radiasi apapun, tetapi kehadirannya bisa diketahui lewat efek gravitasinya yang tampak pada bintang dan galaksi.
Berdasarkan laporan di The Astrophysical Journal yang dipublikasikan Mei lalui, para ilmuwan berusaha mengungkapkannya. Mereka juga melakukan pemetaan alam semesta antara galaksi Bima Sakti dengan tetangganya, Andromeda, lewat kecerdasan buatan (AI).
“Karena materi gelap mendominasi dinamika alam semesta, pada dasarnya menentukan nasibnya bekerja,” kata Donghui Jeong, salah satu penulis laporan dari Pennsylvania State University.
“Jadi kita bisa meminta komputer untuk mengembangkan peta selama miliaran tahun untuk melihat apa yang akan terjadi di alam semesta lokal. Dan kita dapat mengembangkan model kembali ke masa lalu untuk memahami sejarah lingkungan kosmik kita," tambahnya dalam rilis.
Peta itu dinilai dapat mendeteksi struktur tersembunyi yang menghubungkan kedua galaksi itu, yang membuktikan keberadaan materi gelap. Sehingga, dapat membantu para ilmuwan membuat model tabrakan antara Bima Sakti dan Andromeda di masa depan.
Para ilmuwan sebelumnya memprediksi tabrakan kedua galaksi ini akan terjadi pada 4,5 miliar tahun mendatang. Peta itu memetakan filamen materi gelap yang menjembataninya yang mempengaruhi saling mendekatnya kedua galaksi.
Baca Juga: Galaksi Nan Jauh Ala Star Wars Mampu Ajarkan Sains Pada Anak-Anak
Selain itu, diyakini peta yang dibuat dengan machine learning ini dapat menjelaskan lebih banyak pengaruh materi gelap dalam evolusi alam semesta.
Peta itu dibuat lewat kumpulan data pengujian, lalu AI diuji untuk membuat keputusannya sendiri terkait klasifikasi. Model data itu berupa rangkaian besar simulasi galaksi yang disebut IlustrisTNG yang mencakup galaksi, gas, materi yang nampak, maupun materi gelap itu sendiri.
Para ilmuwan secara khusus memilih galaksi simulasi yang sebanding dengan Bima Sakti. Dan akhirnya, dapat mengidentifikasi sifat galaksi mana yang diperlukan untuk memprediksi distribusi materi gelap.
Setelah model siap untuk mulai mengkalsifikasikan informasinya sendiri, para peneliti menunjukkan data kehidupan nyata dari katalog galaksi Cosmicflows-3. Hasilnya mencakup pergerakkan dan gistribusi 17.00 galaksi dalam 200 megaparsec Bima Sakti.
Satu parsec atau satuan itu setara dengan sekitar 3,26 tahun cahaya, yakni 19,2 triliun mil, atau 30,9 kilometer. Peta itu bisa dilihat di dalam laporan yang para ilmuwan buat.
Baca Juga: Dua Studi Baru: Mungkin Kita Bisa Menjelajah Lebih Cepat dari Cahaya
“Ketika diberikan informasi tertentu, model itu pada dasarnya dapat mengisi kekosongan berdasarkan apa yang telah dilihatnya sebelumnya,” Jeong berpendapat.
“Peta dari model kami tidak sepenuhnya sesuai dengan data simulasi, tapi kami masih dapat merekonstruksi struktur yang sangat detail. Kami menemukan bahwa memasukkan pergerakan galaksi—kecepatan khas radialnya—di samping distribusinya secara drastis meningkatkan kualitas peta dan memungkinkan kami melihat detail ini.”
Peta itu secara menghasilkan struktur terkemuka yang telah diketahui dari data yang dimasukan terkait alam semesta loka, termasuk 'lembaran lokal'. 'Lembaran lokal' yang dimaksud para ilmuwan adalah wilayah yang berisi Bima Sakti, galaksi-galaksi sekitar dalam klaster lokal, dan ragam galaksi di gugus Virgo.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Galaksi Mirip Dengan Bima Sakti yang Kita Tinggali
Ada pula filamen baru berhasil diungkap ilmuwan lewat pemetaan itu. Tim penelitian itu berencana untuk mempelajari lebih lanjut. Termasuk memahami lebih jauh hubungan antara galaksi kita dengan Andromeda yang jaraknya kian mendekat.
"Ironisnya, lebih mudah untuk mempelajari distribusi materi gelap lebih jauh [dari Bumi] karena mencerminkan masa lalu yang sangat jauh, yang jauh lebih kompleks," ujarnya.
“Seiring waktu, karena struktur alam semesta berskala besar telah berkembang, kompleksitas alam semesta telah meningkat, sehingga secara inheren lebih sulit untuk melakukan pengukuran tentang materi gelap secara lokal."
Sementara itu, Jeong bersama timnya berpendapat, petanya akan menjadi lebih akurat setelah James Web Space Telescope milik NASA akan diluncurkan akhir 2021. Sebab teleskop ini dapat memberikan kepada mereka data yang memungkinkan untuk dilihat terkait galaksi yang jauh dan lebih redup.
"Memiliki peta lokal web kosmik membuka babak baru studi kosmologis," kata Jeong. "Kita dapat mempelajari bagaimana distribusi materi gelap berhubungan dengan data emisi lainnya, yang akan membantu kita memahami sifat materi gelap," pungkas Jeong.
Baca Juga: Teleskop Bak Mesin Waktu, Astronom Temukan Galaksi Muda Dekat Big Bang
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR