Nationalgeographic.co.id—Selama pagebluk Covid-19, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat berdasarkan laporan Komnas Perempuan. Grafik laporan pengaduan selama 2020 menunjukkan kecenderungan mulai meningkat pada Maret, dan angkanya relatif stabil hingga Desember. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, salah satu kelompok yang rentan terjadi di sektor rumah tangga.
Dalam paparan bertajuk Women, Religion and COVID-19: Cohesive Agency, Resilience-Building and Inter-spatial Performance dalam International Symposium on Religious Life pada November 2020, para peneliti multidisiplin mengemukakan temuan berbeda. Perempuan selama pagebluk melakukan manuver dengan ragam kegiatan pemberdayaan, hingga keagamaan, demikian ungkap mereka.
"Perempuan itu memang rentan, tapi penelitian kami menunjukkan mereka bermanuver," ujar Ida Fitri Astuti dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, salah satu penelitinya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Jumat (09/07/2021).
"Perempuan ini berdaya, bermanuver, tidak hanya diam," ujar Ida.
Riset itu dilaksanakan selama Mei hingga Agustus 2020, bersama Leonard Chrysostomos Epafras dari Universitas Kristen Duta Wacana, empat mahasiswa, dan lima peneliti daerah.
Untuk mendapatkan hasil, masing-masing mengumpulkan data dari 10 kota; Bandung, Banda Aceh, Denpasar, Madiun, Malang, Pontianak, Ruteng-Labuan Bajo, Salatiga, Tomohon-Manado, dan Yogyakarta.
Partisipan dalam riset ini meliputi 68 perempuan yang diwawancarai dari beberapa kelompok seperti pekerja, aktivis di bidang sosial-keagamaan, kalangan minoritas, dan penyandang disabilitas.
Karena bidang kajian ini berfokus pada keagamaan, para responden itu terdiri dari 35 muslim, 15 kristiani, 10 beragama Katolik, lima beragama Hindu, satu beragama Buddha, dan dua penganut kepercayaan leluhur. Mereka juga menyertakan tiga orang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.
Hasilnya, para peneliti menemukan adanya pergeseran otoritas keagamaan domestik yang sebelumnya dikuasai oleh laki-laki.
"Perpindahan itu terjadi sangat halus. Meski demikian, infrastruktur teologis tetap saja tidak berubah dan tidak banyak memberi apresiasi terhadap peranan mereka, terlebih pada perempuan penyandang disabilitas," ungkap Leonard, penulis pertama penelitian itu di media sosialnya.
Baca Juga: Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?
Sebagai contohnya, Ida memaparkan fenomena ini terjadi pada informan perempuan Muslim. Ketika pagebluk, ibadah dilakukan di dalam rumah, dan ternyata para suami sedikit memiliki hafalan.
Padahal mereka semestinya menjadi imam untuk shalat Tarawih yang memiliki bacaan doa yang banyak. Di sini, para istri berperan untuk membantu suami menghafal doa, karena kemampuan tersebut umum dimiliki mereka.
"Kemudian anak kan nurut sama ibu ketika disuruh beribadah di rumah. Jadi otoritas ini bergeser, meski secara halus, memengaruhi keluarga," Ida menambahkan. "Para ibu ini juga ngoprak-ngoprak (mendorong) keluarganya untuk mengikuti Misa online bagi yang beragama Kristen atau Katolik."
Baca Juga: Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?
Sedangkan perempuan dari kalangan penyandang disabilitas mengalami tantangan yang semakin berat. Sebelum pagebluk terjadi, mereka mendapat stigma atas ketidakmampuannya.
Padahal sebenarnya mereka beraktivitas untuk menunjang ekonominya, papar Ida. Tetapi saat pagebluk merambah untuk menjaga jarak, akibatnya bantuan pihak lain tidak bisa mendukung aktivitasnya, penggunaan ojek sebagai misalnya.
Pada hasil terkait kelompok minoritas seperti Sunda Wiwitan, Hakka, dan Ahmadiyah, mereka lebih cenderung aktif lewat kegiatan sosial.
Baca Juga: Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara
Dalam laporan para peneliti, aktivitas kelompok minoritas ini membuat mereka lebih bisa diterima secara sosial. Kecenderungan ini muncul lantaran mereka sendiri kerap mendapatkan sambutan yang kurang baik di kalangan masyarakat.
Sedangkan kelompok pekerja, perempuan mendapatkan tantangan lain. Mereka mendapatkan beban ganda karena harus bekerja dari rumah (work from home), sekaligus menangani urusan keseharian rumah tangga.
Ida menyebut, perempuan harus menjadi ahli gizi, guru untuk anak-anaknya yang sekolah, mengajarkan nilai agama, dan harus menjadi psikolog bagi suaminya yang tertekan karena PHK.
Akibatnya, tidak mudah bagi mereka untuk mengerjakan pekerjaan. Terutama, dalam keluarga yang tidak memiliki ruang kerja atau kamar sendiri-sendiri, membuat situasi bekerja makin tidak kondusif.
"Ketika mempresentasikan hasil riset ini di ISRL (International Symposium on Religious Life) 2020, kami mendapat masukan yang bagus, bahwa membicarakan perempuan seharusnya juga melibatkan laki-laki. Karena situasi perempuan hanya akan berubah jika kedua pihak melakukan perubahan,” Ida menerangkan.
"Jadi laki-laki harus dilibatkan dalam diskusi untuk hal seperti itu, yaitu berbagi beban dan peran. Tidak ada cara lain. Suami bolehlah juga mencuci, memasak, dan sebagainya, jika diperlukan. Apalagi, itu tujuannya demi keluarga."
Baca Juga: Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan
Leonard mengaku, bahwa penelitian ini masih awal, terbatas, dan tidak bisa merangkum respons semua perempuan di masa pagebluk. Kendati demikian, temuan ini dapat memberi gambaran apa yang dialami.
Ida menambahkan, “Dari riset ini terlihat bagaimana situasinya dan manuver yang mereka lakukan. Harapannya kita semua bisa mengetahui, lalu berbagi beban dan peran,” Ida menambahkan.
Merupakan hal yang sangat mungkin untuk mengembangkan penelitian ini. Ida menduga akan adanya perempuan yang semakin tertekan dan rentan, terutama yang harus berperan dalam penanganan penderita anggota keluarganya di rumah saat isolasi mandiri.
Baca Juga: Prajurit Estri, Perempuan Perkasa yang Ditakuti Pemerintah Kolonial
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR